Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (143): Perkabungan

Kompas.com - 19/02/2009, 07:46 WIB

Toh Rashid akhirnya menyeret saya untuk ikut serta dalam rombongan. Total 15 orang. Perkemahan langsung kosong. Hanya satu atau dua orang yang ditugasi menjaga perkampungan tenda kami.

Rumah Pak Haji terletak di bawah, di lereng bukit. Saya yang masih belum terbiasa dengan jalan gunung yang curam ini harus digandeng erat-erat oleh Anis Sahab dan Aslam Sahab. Agak memalukan, memang. Sudah berkali-kali saya tergelincir, apalagi sekarang jalan naik-turun ini semakin licin dengan hujan dan lumpur.

Ini pengalaman pertama saya mengikuti acara perkabungan. Saya sangat kikuk, takut-takut melakukan kesalahan dalam upacara yang kental dengan tradisi dan nuansa keagamaan ini. Rashid, malah jauh lebih aktif daripada saya. Dia terus menggandeng saya, menembus kerumunan pria-pria desa yang masih tergumun-gumun akan meninggalnya Haji Sahab yang begitu mendadak.

Jenazah Haji Sahab diselimuti kain hijau bertuliskan huruf-huruf Arab. Di sekelilingnya dua puluhan orang duduk. Kamar ini tempat terlarang bagi laki-laki, hanya ada perempuan di sini. Yang paling dekat dengan jenazah menangis dan meratap, menebarkan aroma kesedihan ke angkasa raya. Mereka nampaknya anggota keluarga yang ditinggal pergi oleh mendiang. Perempuan-perempuan lain, para tetangga yang ikut melayat, melantunkan doa-doa, mengumandangkan ayat-ayat.

Purdah, kata Rashid, adalah konsep yang sangat kuat di Pakistan. Purdah artinya tirai. Sebuah tirai tak kasat mata yang memisahkan perempuan dari laki-laki. Para pelayat laki-laki dipisahkan dari perempuan. Mereka yang perempuan cuma membaca doa di sini, karena mereka tidak diperkenankan ikut acara pemakaman, yang hanya khusus untuk laki-laki. Itulah sistem purdah.

Berikutnya, para pria mengusung jenazah dari dalam rumah. Hujan rintik-rintik masih terus mengguyur, seolah langit ikut mewakili kesedihan para penduduk. Jenazah Haji Sahab di dalam kafan dan di bawah kain hijau, juga dibungkus plastik supaya tidak basah.

Iring-iringan para pelayat mengular-ular sepanjang lereng gunung, menuju lapangan di bawah sana. Jenazah diletakkan di atas tanah. Orang-orang berbaris, menghadap arah kibla.

          “Allahuakbar!”

Salat jenazah dimulai. Senyap. Yang ada hanya suara merdu imam yang mempimpin para pelayat memanjatkan doa bagi Pak Haji yang baru saja pergi. Para pelayat tetap berdiri, mulut komat kamit, di bawah lindungan payung warna-warni. Kesunyian berpadu dengan kekhusyukan, ditambah lagi gerimis rintik-rintik yang membasahi desa yang sudah berubah menjadi puing-puing ini. Saya merasa bulu kuduk saya berdiri.

Jenazah tidak langsung dikubur. Sekarang almarhum disemayamkan di atas ranjang, di dalam sebuah bangunan yang sudah bolong-bolong temboknya, hancur karena gempa. Selapis demi selapis, kain pembungkus jenazah dibuka. Kini wajah Pak Haji jelas terlihat. Kepalanya ditumbuhi uban pendek. Jenggot dan kumis tipisnya sudah memutih. Matanya terpejam. Wajahnya memancarkan kedamaian, tanpa tanda-tanda penderitaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com