Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/04/2009, 10:59 WIB

Minggu lalu, di Solo, saya menemukan makanan yang membangkitkan nostalgia. Ketika melihat sajian itu, ingatan yang segera muncul di benak saya adalah USDEK.
 
Pada awal tahun 1960-an, Manipol-USDEK adalah slogan politik populer yang selalu didengung-dengungkan oleh Bung Karno, Presiden Republik Indonesia yang pertama. Manipol merupakan akronim dari Manifesto Politik. USDEK adalah singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Mengutip ucapan Bung Karno pada waktu itu: “Oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dipupuk, dan dijalankan oleh semua kita.”
 
Pada waktu itu, hampir semua atap rumah-rumah di Jawa menyandang tulisan USDEK – dicat dengan huruf berukuran besar. Saking populernya doktrin ini, USDEK pun tampil dalam berbagai plesetan. Salah satunya: Udane Sangsaya Deres, Enake Kelonan (Hujan Semakin Deras, Enaknya Berpelukan). Tetapi, ada juga plesetan USDEK yang hadir di dunia kuliner.
 
Hingga saat kini – meskipun sudah kian jarang – di Jawa Tengah masih berlangsung tatacara penyajian makanan yang sangat khas pada acara-acara perkawinan maupun hajatan lain. Kursi-kursi ditata theater-style, semua berbaris atau berbanjar menghadap ke depan. Pramusaji membawa makanan di nampan, diberikan kepada tamu yang duduk di pinggir barisan, lalu piring makanan itu secara estafet diserahkan ke tamu berikutnya. Istilah populernya adalah “piring terbang” – karena piring-piring makanan itu “terbang” dari tangan ke tangan hingga tamu yang duduk di ujung barisan.
 
Sajian yang dihidangkan mengikuti urutan USDEK, yaitu: Unjukan (Minuman), Sop, Daharan (Makanan Utama), Es (bisa es krim, es campur, atau puding), dan Kondur (Pulang). Artinya, para tamu sudah tahu bila es sudah dihidangkan, maka mereka boleh bersiap untuk bersalaman dan pulang.
 
Di kalangan orang-orang seusia saya – yaitu sekitar 60-an tahun – tatacara hidangan dan istilah USDEK ini cukup populer dan selalu menjadi kenangan khusus. Apalagi, makanan-makanan yang disajikan pun cukup standar.
 
Salah satu hidangan sop yang populer di Solo dalam “Protokol USDEK” ini adalah sop matahari. Ini termasuk sop yang paling mewah pada saat itu. Dibuat dari daging cincang – sapi atau ayam – dicampur dengan jamur dan seiris sosis, dibungkus dalam dadar tipis membentuk bola yang cukup besar. Dadar pembungkus ini kemudian disayat delapan, lalu dibuka sehingga membentuk matahari, dan kemudian disiram sop kaldu encer yang gurih. Mak nyusss!
 
Jelas sekali tampak bahwa sop matahari ini merupakan pengaruh dari tradisi kuliner Belanda. Rupanya, masakan nyonya-nyonya Belanda pada waktu itu ditiru dan diadaptasi dengan baik oleh ibu-ibu di kalangan priyayi.
 
Ternyata, di Solo hingga kini masih ada satu rumah makan yang menyajikan sop matahari dalam penampilannya yang otentik. Nama rumah makannya juga unik: RM “Es Masuk”. Dari luar hanya tampak pagar tembok tinggi. Lho, di mana rumah makannya? Lha, ya, harus masuk dulu ke sebuah pintu kecil, dan ... voila ... ternyata di balik pagar tembok itulah rumah makannya. Hidangan utamanya adalah berbagai macam minuman es, seperti es dawet selasih, es campur, dan lain-lain. Tetapi, juga tersedia berbagai hidangan ringan.
 
Selain sop matahari, sajian “djadoel” di RM “Es Masuk” ini adalah selat solo. Dalam salah satu artikel Jalansutra sebelumnya, saya pernah menulis tentang selat solo yang khas ini. Sangat boleh jadi kata “selat” berasal dari kata “salad” atau “sla” dalam bahasa Belanda. Sajian ini terdiri atas beberapa iris daging sapi yang ditata manis dengan irisan telur rebus, wortel, kentang, buncis, timun, tomat, daun selada, kemudian disiram dengan kuah semur manis. Kondimennya adalah mayones. Sajian ini juga jelas menunjukkan jejak-jejak shared-culinary heritage Jawa-Belanda yang unik. Sekalipun sajian ini sudah merupakan makanan lengkap, jangan heran bila orang Solo menyantapnya sebagai lauk dengan sepiring nasi.
 
Di RM “Es Masuk” juga ada versi selat solo yang disebut selat galantin. Sajian khas ini semakin menampakkan sisi “peranakan” Jawa-Belanda yang kental.
 
Di Jawa, istilah galantin sudah menjadi agak jauh dari galantine yang dikenal secara internasional di dunia kuliner. Pada dasarnya, galantine adalah sajian Prancis yang kita kenal dengan nama ayam kodok (stuffed chicken), yaitu ayam yang “ditelanjangi” dari tulang dan dagingnya. Daging ayamnya dicincang dan dibumbui, dicampur sedikit tepung dan telur, kemudian diisikan kembali ke dalam kulit ayam utuh. Kadang-kadang juga ditambah irisan wortel dan kapri. Finishing-nya dapat dikukus atau dipanggang dalam oven.
 
Galantine memang berasal dari kata galant, karena sajian ini tampil urbane dan sophisticated di meja makan. Disantap dengan pisau dan garpu, tanpa repot menyisihkan tulang ayam. Sudah pasti pula empuk dan lezat karena bumbu yang kaya.
 
Tetapi, karena mengeluarkan tulang dan daging ayam merupakan pekerjaan yang sangat repot, galantine kemudian dibuat dengan cara yang lebih mudah, yaitu dicetak di loyang. Artinya, semua bentuk meat loaf pun dapat disebut sebagai galantine.
 
Di “Warung Kita”, juga di Solo, galantine yang berupa meat loaf ini bahkan “dicetak” dalam bungkus daun pisang. Cobalah singgah ke rumah makan ini, maka Anda akan melihat puluhan meat loaf dalam bungkusan daun pisang siap diolah menjadi berbagai jenis hidangan. Yang paling populer adalah bestik galantin.
 
Galantin versi Jawa ini cukup sering hadir dalam berbagai sajian di masa lalu. Salah satunya adalah sop galantin. Untuk membuat indah tampilannya, daging cincangnya digulung dalam dadar tipis membentuk sosis. Irisannya akan menampilkan bentuk yang manis ketika disajikan dalam sop yang diisi dengan wortel, kapri, dan jamur kuping. Salah satu bumbu yang menonjol dalam galantin versi peranakan Jawa-Belanda adalah bubuk dari biji pala.
 
Dari berbagai pengamat kuliner – antara lain Mas Iwan Tirta – saya mendengar bahwa Pura Mangkunegaran di Solo mungkin merupakan sumber dari berbagai sajian peranakan Jawa-Belanda ini. Di Pura Mangkunegaran, misalnya, kita menemukan sajian khas yang disebut sambel goreng printhil. Sambel goreng yang biasanya dibuat dari udang, hati ayam (atau sapi), dan kentang ini, di Pura Mangkunegaran tampil galant dengan bola-bola kecil daging sapi cincang. Bola-bola daging kecil inilah yang disebut printhil. Sebelum sakit, dulu Mas Iwan Tirta suka memasak dan menyajikan sambel goreng printhil ini bagi tamu-tamunya di acara open house Idul Fitri di rumahnya. Teman-teman Komunitas Jalansutra yang pernah hadir pada acara itu tentulah masih ingat sajian istimewa ini.
 
Lucunya, banyak teman-teman Indo-Belanda seusia saya yang justru tidak mengenal kekayaan kuliner peranakan Jawa-Belanda ini. Sejujurnya, di Belanda sendiri justru tidak banyak lagi ditemukan rumah makan yang menyajikan sajian khas Belanda. Salah satu restoran favorit saya di Amsterdam untuk mencicipi sajian khas Belanda dari masa van voor de oorlog (sebelum perang) adalah “De Keuken van 1870”, yang letaknya tidak jauh dari Amsterdam CS (Centraal Station). Restoran ini sangat sederhana penampilannya. Hidangannya pun sebetulnya seperti di kantin. Terakhir makan di sana pada musim panas yang lalu, harga satu set makan malam yang paling mahal adalah 8,50 Euro. Lumayan murah untuk ukuran Amsterdam. Di sana kita dapat menemukan hidangan seperti galantin yang pernah populer dan elit di Tanah Jawa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jakarta Tourist Pass Dirilis Juni 2024, Bisa Naik Kendaraan Umum Gratis

Jakarta Tourist Pass Dirilis Juni 2024, Bisa Naik Kendaraan Umum Gratis

Travel Update
Daftar 17 Bandara di Indonesia yang Dicabut Status Internasionalnya

Daftar 17 Bandara di Indonesia yang Dicabut Status Internasionalnya

Travel Update
Meski Mahal, Transportasi Mewah Berpotensi Dorong Sektor Pariwisata

Meski Mahal, Transportasi Mewah Berpotensi Dorong Sektor Pariwisata

Travel Update
Jakarta Tetap Jadi Pusat MICE Meski Tak Lagi Jadi Ibu Kota

Jakarta Tetap Jadi Pusat MICE Meski Tak Lagi Jadi Ibu Kota

Travel Update
Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Travel Update
Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Travel Update
Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Travel Update
Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com