Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Peradaban Kampung Tua

Kompas.com - 07/11/2010, 12:10 WIB

Begitu masuk kompleks makam, terlihat beberapa peti batu berukir kepala manusia. Peti batu itu tidak tertanam di dalam tanah, tetapi berada di atas permukaan tanah. Di dalam peti itulah raja-raja keturunan Sidabutar dimakamkan. Dari Tomok, kami melanjutkan perjalanan menuju  Desa Simanindo. Di desa itu terdapat kompleks perkampungan tua Huta Bolon Simanindo. Dalam bahasa Batak, huta bolon berarti "kampung besar". Perkampungan yang berada di tepi Danau Toba ini dibangun oleh Raja Simanindo. 

Untuk menuju Huta Bolon Simanindo harus menempuh jarak sekitar 20 kilometer dari Tomok. Perjalanan ke Simanindo melewati tepian Danau Toba yang indah. Kawasan perbukitan dengan hutan yang mulai gundul di sana-sini menjadi pemandangan di sepanjang perjalanan. 

Sejarah kelam  Tidak berapa lama sampailah di perkampungan tua Huta Bolon Simanindo. Gapura sebagai penanda nama perkampungan itu catnya sudah kusam. Beberapa makam berbentuk rumah milik keluarga Raja Simanindo berderet di pinggir jalan. 

Bentuk perkampungan Huta Bolon Simanindo berbeda dengan perkampungan Tomok yang sekelilingnya dibatasi  pagar batu. Untuk menahan serangan musuh, Raja Simanindo membangun dinding tanah dengan rumpun hutan bambu yang ditanam rapat di atas dinding tersebut. 

Hanya ada dua pintu gerbang untuk keluar-masuk perkampungan itu. Menurut Onsan Naibaho, penjaga museum, dulu penjaga di pintu gerbang itu bersenjatakan tombak beracun. 

Di dalam perkampungan tadi ada dua deret rumah yang dibangun  berhadap-hadapan. Satu deret merupakan rumah raja dan keluarganya, sementara deretan rumah yang lainnya adalah lumbung, rumah pengawal, dan ruang keluarga raja. 

Di bagian tengah tertancap kayu tonggak untuk mengikat kerbau yang dipakai dalam ritual persembahan. Menurut Naibaho, dulu ketika turis masih banyak berkunjung ke Danau Toba, di Huta Bolon Simanindo sering digelar seni tradisional, seperti tarian sigale-gale dan tor-tor tunggal panaluan. Pertunjukan itu merupakan rekonstruksi ritual yang diadakan masyarakat Batak Toba kuno. 

Pada papan pengumuman di depan museum tertulis pertunjukan diadakan setiap hari, yaitu pada pukul 10.30-11.45 dan pukul 11.45-12.10. Namun, sekarang, karena turis masih sepi, pertunjukan lebih banyak diadakan berdasarkan pesanan. 

Sekarang mari kita ke bagian terkelam dari sejarah orang Batak, yaitu di perkampungan tua Huta Siallagan di Desa Ambarita, Samosir. Di perkampungan itu, sebelum orang Batak mengenal agama Kristen, Raja Siallagan menghukum pancung musuh-musuhnya. 

Perkampungan itu dikelilingi tembok yang dibangun dari susunan batu-batu alam. Di tengah kampung,terdapat meja batu dengan kursi batu yang tertata melingkar. Situ itu disebut batu sidang. Menurut Bagus Simatupang, pemandu di museum itu, batu sidang yang tertata melingkar di bawah pohon beringin itu usianya sudah lebih dari 200 tahun. 

Di masa lalu, sebelum menghukum penjahat atau musuh, Raja Siallagan dan tetua desa mengadakan sidang di batu sidang. Setelah disidang, musuh atau penjahat dibawa ke tempat eksekusi yang berada di belakang perkampungan. 

Tempat eksekusi itu tata letaknya mirip dengan batu sidang. Hanya saja di situ ada satu batu besar yang bentuknya memanjang dan batu besar dengan cekungan di tengahnya. Batu besar yang memanjang itu untuk membaringkan musuh raja sebelum disayat-sayat tubuhnya untuk menghilangkan ilmu kebal yang dimiliki sang musuh. Setelah disayat, kepala musuh dipenggal di batu cekung. 

”Dulu saking bencinya terhadap musuh, Raja Siallagan rela memakan jantung korban,” kata Simatupang. Ritual itu hilang setelah Nommensen menyebarkan agama Kristen di wilayah Samosir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com