Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berumah di Negeri Cincin Api

Kompas.com - 14/10/2011, 13:46 WIB
Ahmad Arif

Penulis

Ahmad Arif dan Mohammad Hilmi Faiq

KOMPAS - Rumah panggung dari kayu itu berdiri menjulang di tengah Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Tiang kayu besar menyangga atap ijuk yang berlumut. Kayu melintang mengikat antartiang. Pasak kayu dan ikatan bambu menjamin keliatan sambungan, agar tak gampang patah saat gempa mengguncang.

Namun, semen yang mengikat tiang-tiang utama rumah dengan fondasi batu telah menafikan segalanya. Bangunan berusia sekitar 250 tahun dan dirancang tahan gempa itu telah kehilangan kekuatannya.

Hingga tiga tahun lalu, tiang-tiang rumah tradisional Karo di Lingga itu masih ditumpukan di atas umpak batu. ”Baru tiga tahun ini fondasinya disemen. Itu proyek bantuan dari pemerintah,” kata Simalem Sinulingga (54), warga Lingga.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karo Dinasti Sitepu menjelaskan, proyek itu dikerjakan pada tahun 2009 dengan dana Rp 800 juta, bantuan dari Kementerian Perumahan Rakyat. ”Pengerjaan itu sepenuhnya kami serahkan kepada tukang. Saya baru tahu kalau (fondasinya) disemen semua,” kata Dinasti. Dia berjanji untuk segera mengeceknya. ”Semestinya tidak boleh disemen tiang rumah itu, harus sesuai aslinya.”

Fondasi umpak dalam rumah tradisional Karo merupakan salah satu faktor utama untuk mereduksi gaya lateral gempa, selain material kayu, teknik ikatan pasak, dan kayu melintang yang mengikat antartiang. Dengan sistem fondasi umpak, tiang rumah dapat bergeser apabila digoyang gempa. Pergeseran inilah yang memberikan sifat meredam gempa, yang dalam istilah konstruksi modern dikenal sebagai teknologi base-isolator.

Koen Meyers dan Puteri Watson dalam Legend, Ritual, and Architecture on the Ring of Fire, 2008, menyebutkan, sistem fondasi yang ditumpukan di atas batu pada rumah tradisional bersifat dinamis sehingga lebih tahan menahan gempa. Sistem fondasi umpak ini, yang juga diadopsi oleh berbagai rumah tradisional di Nusantara lainnya, seperti joglo di Yogyakarta dan omo hada di Nias, sengaja diciptakan sebagai kompromi leluhur kita untuk beradaptasi dengan bumi yang kerap dilanda gempa.

Tanah Karo, yang berada di ujung ”Tumor Batak”, merupakan daerah geologi yang ekstrem. Tumor Batak merupakan istilah geolog Belanda, Van Bemmelen, untuk menyebut adanya pembubungan daratan di Sumatera Utara. ”Terjadi pengangkatan dari bawah yang membentuk dataran tinggi, panjangnya 275 km dan lebar 150 km, yang disebut Tumor Batak,” tulis Bemmelen dalam Geology of Indonesia (1949).

Pengangkatan Tumor Batak ini, disebut Bemmelen, menjadi fase awal pembentukan Gunung Toba purba. Saat pembubungan terjadi sebagian magma keluar melalui retakan awal membentuk tubuh gunung. Berbagai penelitian lanjutan menyebutkan, kawasan di Tumor Batak juga diimpit oleh aktivitas tektonik yang hiperaktif karena berada di jalur patahan besar Sumatera. Kombinasi aktivitas tektonik dan vulkanik inilah yang memicu banyak terjadinya gempa bumi di kawasan ini.

Diabaikan

Sayangnya, pemerintah yang semestinya memelihara pengetahuan lokal membangun rumah aman gempa ini ternyata abai dengan tugasnya. Proyek bantuan yang merusak sistem tahan gempa rumah di Desa Lingga ini merupakan cermin ketidakpedulian pemerintah terhadap kearifan lokal.

Selain penyemenan fondasi, rumah-rumah tradisional Lingga lainnya hampir semuanya tak terurus, sebagian besar dibiarkan kosong, dan rusak. Dari enam rumah yang tersisa, hanya dua yang ditinggali warga, itu pun tidak terawat. ”Dulu ada puluhan rumah di sini. Semua roboh karena tak terawat, sekarang tinggal enam rumah,” kata Kepala Desa Lingga Benyamin Ginting.

Para keturunan pemilik rumah memilih tinggal di kota atau memiliki rumah baru yang terbuat dari tembok yang abai prinsip-prinsip tahan gempa. Rumah-rumah tradisional Lingga yang aman dari gempa justru disewakan.

Biasanya, penghuni atau penyewa rumah tradisional itu akan pindah begitu punya rumah baru. ”Fungsi rumah adat tak ubahnya rumah singgah bagi warga miskin yang belum punya rumah. Makanya sulit mengharapkan mereka bisa merawatnya,” tambah Benyamin.

Rumah-rumah tradisional itu pun terus berkurang, roboh satu per satu. Padahal, bersama robohnya rumah-rumah itu, hilang pula pengetahuan lokal tentang strategi adaptasi terhadap kondisi bumi yang rentan gempa bumi. (Indira Permanasari/ Amir Sodikin)

Baca selanjutnya: Teruji ...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    75.000 Orang Kunjungi Candi Borobudur Saat Peringatan Waisak 2024

    75.000 Orang Kunjungi Candi Borobudur Saat Peringatan Waisak 2024

    Travel Update
    5 Kota Terbaik di Dunia Menurut Indeks Keberlanjutan Destinasi Global

    5 Kota Terbaik di Dunia Menurut Indeks Keberlanjutan Destinasi Global

    Travel Update
    Pengembangan Kawasan Parapuar di Labuan Bajo Terus Diperkuat Penguatan Konten Budaya Manggarai

    Pengembangan Kawasan Parapuar di Labuan Bajo Terus Diperkuat Penguatan Konten Budaya Manggarai

    Travel Update
    Ada Rencana Penerbangan Langsung Rusia-Bali pada Musim Libur 2024

    Ada Rencana Penerbangan Langsung Rusia-Bali pada Musim Libur 2024

    Travel Update
    Indeks Kinerja Pariwisata Indonesia Peringkat Ke-22 di Dunia

    Indeks Kinerja Pariwisata Indonesia Peringkat Ke-22 di Dunia

    Travel Update
    DIY Ketambahan 25 Warisan Budaya Tak Benda, Pokdarwis Digandeng Ikut Lestarikan

    DIY Ketambahan 25 Warisan Budaya Tak Benda, Pokdarwis Digandeng Ikut Lestarikan

    Travel Update
    Long Weekend Waisak Jumlah Penumpang Kereta Api di Yogya Naik 41 Persen

    Long Weekend Waisak Jumlah Penumpang Kereta Api di Yogya Naik 41 Persen

    Travel Update
    Spot Foto di Taman Sejarah Bandung, Foto Bersama Wali Kota

    Spot Foto di Taman Sejarah Bandung, Foto Bersama Wali Kota

    Jalan Jalan
    Pembangunan Gereja Tertinggi di Dunia Hampir Rampung Setelah 144 Tahun

    Pembangunan Gereja Tertinggi di Dunia Hampir Rampung Setelah 144 Tahun

    Travel Update
    Harga Tiket Menara Eiffel di Perancis Akan Naik 20 Persen per Juni

    Harga Tiket Menara Eiffel di Perancis Akan Naik 20 Persen per Juni

    Travel Update
    Roma Akan Bangun Jalur Ramah Pejalan Kaki di Sekitar Area Bersejarah

    Roma Akan Bangun Jalur Ramah Pejalan Kaki di Sekitar Area Bersejarah

    Travel Update
    Usai Turbulensi Fatal, Singapore Airlines Ubah Aturan Makan di Pesawat

    Usai Turbulensi Fatal, Singapore Airlines Ubah Aturan Makan di Pesawat

    Travel Update
    Harga Tiket Masuk Terkini TMII, Tempat Wisata Favorit di Jakarta

    Harga Tiket Masuk Terkini TMII, Tempat Wisata Favorit di Jakarta

    Travel Update
    Jam Buka Cibubur Garden Eat & Play di Hari Kerja atau Libur

    Jam Buka Cibubur Garden Eat & Play di Hari Kerja atau Libur

    Jalan Jalan
    Rute ke Cibubur Garden Eat & Play, Wisata Dekat Jakarta

    Rute ke Cibubur Garden Eat & Play, Wisata Dekat Jakarta

    Jalan Jalan
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com