Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sandeq", Ekspresi Maritim Mandar

Kompas.com - 25/02/2012, 02:46 WIB

ASWIN RIZAL HARAHAP, M FINAL DAENG, dan NASRULLAH NARA

Sekitar 600 nelayan menyemarakkan sandeq race, akhir 2011. Sebagian di antara mereka perantau yang sengaja mudik demi unjuk kepiawaian mengarungi laut dengan perahu layar. Inilah ajang aktualisasi diri pelaut ulung dari jazirah barat Pulau Sulawesi.

Sandeq tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keluarga Tahir (55) dan para nelayan suku Mandar lain. Jenis perahu layar tradisional itu tak sekadar menjadi armada penangkap ikan, tetapi juga sebagai panggung sosial.

Tujuh belas tahun terakhir, sandeq terus digandrungi melalui lomba tahunan bernama sandeq race. Bagi nelayan Mandar yang mendiami pesisir barat Sulawesi—mencakup Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Majene, Mamuju, dan Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Barat—ajang itu selalu ditunggu-tunggu.

Peneliti maritim asal Jerman, Horst H Liebner, menyebut sandeq race sebagai upaya melestarikan ikon budaya Mandar (lihat buku Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara karya M Ridwan Alimuddin, 2009).

Meski lomba baru berlangsung September nanti, Tahir sudah geregetan. Saban hari, ia sibuk mendandani sandeq-nya di Desa Tinambung. Bahkan, istrinya, Aminah (51), ikut-ikutan mengampelas Sempurna, perahu kesayangan keluarga yang diletakkan di depan rumah.

”Supaya komponen yang rusak bisa segera diperbaiki atau diganti,” ujar ayah dari 14 anak warga Kabupaten Polman itu.

Empat anaknya yang merantau di Tarakan, Kalimantan Timur, Agus, Arsyad, Udin, dan Usman, kali ini diajak kembali untuk mengawaki sandeq milik keluarga.

Untuk mengarungi rute Mamuju-Pantai Losari, Makassar, Sulsel, Tahir membeli sandeq lima tahun silam seharga Rp 45 juta. Perahu berukuran panjang 13 meter, lebar 80 sentimeter, dan tinggi 1 meter, dengan cadik di sisi kanan-kiri, itu berkapasitas 8-10 orang. Di bagian tengah terbentang layar segitiga yang membuat perahu bisa terdorong dengan kecepatan 40 kilometer per jam.

Saban tahun, Tahir harus mengeluarkan biaya persiapan lomba sebesar Rp 10 juta-Rp 15 juta. Ongkos itu untuk memperbaiki bagian kapal yang aus dan upah 20 pekerja. Pengeluaran itu tak sebanding dengan hadiah Rp 25 juta bagi juara pertama.

Bagi Tahir dan nelayan setempat, ini bukan soal untung- rugi. ”Ikut balapan sandeq adalah hiburan setelah berbulan-bulan melaut,” katanya.

Aminah pernah berutang Rp 10 juta kepada saudaranya untuk persiapan lomba. Semua itu terbayar lunas setelah Sempurna miliknya menjuarai Sandeq Race 2011.

Begitu pula dengan Syahruddin (55), pengusaha tali rumpon di Tinambung. Ia memesan sandeq lima tahun silam. Sebanyak 40 karyawannya diarahkan ikut serta. Begitulah, lomba sandeq sekaligus adalah ajang inovasi membuat perahu yang kuat, ringan, dan cepat, sebagaimana lomba Formula I. Ini catatan Liebner dari Jerman tadi.

Sedikitnya ada tujuh pembuat perahu terkenal di Polman. Samadung (51), salah satunya, tak lagi menggunakan kayu endemik tippulu, pallapi, dan ma’deng. Bobot ketiga jenis kayu itu terlampau berat sehingga dianggap tidak cocok untuk membuat sandeq balap. Dicobanya kayu-kayu lain yang ringan dan kuat, seperti dango, kanduruan, dan bayur.

Lelaki yang sudah 20 tahun membuat perahu itu bahkan memakai tripleks ukuran 3-6 inci sebagai bahan lambung sandeq balap. Ia juga menyederhanakan ukuran sandeq agar lincah. Tiga perahu buatannya jadi juara sejak 2005.

Pesanan perahu pun mengalir deras sejak itu. Periode Januari-Juni, Samadung minimal mendapat satu pesanan sandeq seharga Rp 45 juta. Ia juga sering disewa pemilik perahu untuk mengomandoi tim menjelang perlombaan. Penghasilan itulah yang digunakan Samadung untuk menyambung hidup.

Pengamat budaya Mandar, M Ridwan Alimuddin, mengibaratkan sandeq race sebagai pestanya nelayan Mandar. Semua ikut berpartisipasi mulai dari pemilik, pembuat, hingga awak.

Ajang tersebut menjadi kian prestisius seiring meningkatnya animo peserta. Dua tahun terakhir, sandeq race diikuti lebih dari 50 peserta. Tahun sebelumnya hanya 30-35 peserta.

Dari 36.653 nelayan di Sulbar, hampir 80 persen di antaranya menghuni 215 kilometer area garis pantai, Polman dan Majene. Namun, tak sedikit pula orang Mandar yang mendiami pesisir Ujung Lero, Sulsel.

Dengan sandeq-lah nelayan Mandar menangkap ikan terbang dan ikan tuna untuk di ekspor. Badan sandeq tidak mudah oleng dihantam ombak karena cadik dari bahan bambu petung di sisi kiri-kanan berfungsi menjaga keseimbangan.

Dalam buku The Bugis terbitan Blackwell (1996), penulis Perancis, Christian Pelras, menyebut orang Mandar pelaut ulung. Kepiawaian bahari orang Mandar tampak pada tiga bentuk teknologi perikanan yang mereka kembangkan, yakni alat penangkap ikan rumpon, penangkap ikan sambil menghanyutkan diri di tengah laut, dan sandeq.

Sebelum menggunakan sandeq, pada 1930-an, orang Mandar memakai perahu pakur untuk mengangkut kopra ke Pulau Jawa. Pakur juga bercadik dan dilengkapi layar. Namun, karena bodinya lebih gemuk, perahu ini kurang lincah.

Pergeseran fungsi dari penangkap ikan menjadi perahu balap itu membuktikan nelayan Mandar bisa beradaptasi dengan teknologi.

Mereka melestarikan sandeq lewat lomba kemaritiman yang sarat gengsi, prestisius, atraktif, dan penuh kegembiraan itu....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com