Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Miring di Pasar Aur Kuning

Kompas.com - 10/06/2012, 16:13 WIB

KESENANGAN belanja yang pertama dimulai dari harga murah. Adapun kepuasan didapat setelah memperoleh barang yang berkualitas.

Murah dan berkualitas memang relatif. Namun, di Pasar Aur Kuning, Bukittinggi, Sumatera Barat, relativitas itu menjelma jadi energi belanja. Energi belanja pasar tersebut cukup besar sehingga mampu menyedot pembeli dari sejumlah provinsi hingga pelancong dari negeri tetangga.

Total terdapat 1.470 toko (sejatinya 1.493 toko, tetapi 23 toko di antaranya terbakar medio Mei silam), 4.390 los, dan sekitar 1.500 pedagang kaki lima (PKL) di di pusat grosir yang bernama resmi Pasar Simpang Aur itu. Sekitar 90 persen di antaranya menjual beragam produk tekstil dengan harga grosir.

Aneka busana muslim, pakaian kasual, mukena, karpet, seprai, hingga tirai jendela ditawarkan dengan harga relatif murah. Calon pembeli tentu saja bisa menawar.

Namun, beroleh harga yang makin miring tergantung dari kelihaian calon pembeli. Untuk itu, walaupun tidak mutlak, menggunakan bahasa Minang bisa jadi sebuah keuntungan.

”Memang harganya sangat murah. Jika sebuah pakaian di Pasar Atas ditawarkan Rp 150.000, di Pasar Aur Kuning harganya bisa menjadi Rp 70.000,” kata Nova Nurhalim (33), perajin ukiran kayu Minangkabau di Jorong Baruah, Nagari Pandai Sikek, Kecamatan X Koto, Tanah Datar, setengah berpromosi.

Selain Pasar Aur Kuning, Bukittinggi juga memiliki Pasar Atas dan Pasar Bawah. Pasar Atas berdekatan dengan Jam Gadang dan cenderung lebih diakrabi wisatawan. Adapun Pasar Bawah yang letaknya terpisah menjual bahan pokok, termasuk sayur-sayuran.

Jarak dari Pasar Atas ke Pasar Aur Kuning hanya sekitar 3 kilometer. Namun, perbedaan harga di antara keduanya cukup mencolok, juga tingkat keramaian dan kesibukannya.

Seperti terlihat pada Senin pertengahan Mei lalu, beberapa jam setelah kebakaran menghanguskan 23 toko di Blok H Pusat Pertokoan Aur Indah, Pasar Aur Kuning.

Kesibukan perdagangan tetap berjalan seperti biasa. Bau hangus yang pekat seperti berangsur dilupakan. PKL sibuk melayani calon pembeli yang menuntut kualitas baik berharga miring.

Pasar Aur Kuning berdiri di lahan seluas 2,3 hektar. ”Inilah Pasar Tanah Abang kedua,” kata Sekretaris Dinas Pengelolaan Pasar Bukittinggi Ade Hermon berseloroh.

Pembeli datang dari sejumlah daerah, di antaranya Sumatera bagian tengah hingga utara. Bahkan ada pembeli dari Malaysia, Singapura, dan Brunei.

”Memang harganya bisa lebih murah dibandingkan pasar lain, bisa berbeda sampai Rp 10.000 untuk satu jenis pakaian,” kata Supatmi (29).

Supatmi yang berasal dari Mandailing Natal, Sumatera Utara, berbelanja di Pasar Aur Kuning untuk kebutuhan berdagang. Bahkan, kata Supatmi, harga barang serupa di Medan masih jauh lebih mahal.

Sebagian barang yang ditawarkan berasal dari beberapa daerah di Sumatera Barat, seperti Agam dan Padang Pariaman. Sebagian lain didatangkan dari Jawa.

Tak jauh dari Pasar Aur Kuning berdenyut aktivitas penghasil pakaian jadi di Nagari Pasia, Kecamatan Ampek Angkek, Agam. Sekitar 350 keluarga menjadikan usaha konfeksi sebagai sumber pendapatan. Sebagian produksinya dipasarkan ke Pasar Aur Kuning.

Hari pakan atau pasaran di Pasar Aur Kuning berlangsung pada Rabu dan Sabtu. Pasokan barang, bahkan pembeli dari luar daerah, biasanya sudah datang sejak Jumat.

Pada hari pasaran, omzet seorang PKL bisa mencapai Rp 2 juta dalam sehari. Bandingkan dengan putaran uang yang diterima pada hari biasa yang sekitar Rp 500.000 per hari.

”Tetapi, beberapa tahun terakhir ini sepi. Pasar ini terasa ramai antara tahun 2000 dan 2003,” kata seorang PKL, Bujang Tanjung (53).

Ia menyewa tempat untuk lapaknya yang berada di depan sebuah toko dengan biaya Rp 50.000 per bulan. Tentu saja Bujang tidak menyetorkannya kepada Dinas Pengelolaan Pasar Bukittinggi.

Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Bukittinggi Hermansyah mengatakan, sejumlah pedagang toko memang memilih untuk pindah. Sebagian memilih ke Pekanbaru.

”Mungkin karena merasa terganggu,” ujar Hermansyah. Ia seperti hendak merujuk keberadaan sekitar 1.500 PKL di Pasar Aur Kuning.

Namun, pasar yang menurut Hermansyah didirikan pada awal tahun 1980-an itu tetap jadi pilihan. Padahal, dulu kawasan itu relatif sepi.

”Dulunya adalah tempat bagi masyarakat sekitar memasarkan hasil bumi, lalu lama-lama berkembang,” kata Hermansyah.

Sebagian pedagang Pasar Aur Kuning kini merupakan pedagang dari Pasar Atas. Penolakan, lanjutnya, sempat bergolak di antara sebagian pedagang. ”Karena dikira Pasar Aur Kuning adalah tempat pembuangan,” katanya.

Perlahan, nyaris beriringan dengan pembangunan pasar, Terminal Simpang Aur didirikan. Akan tetapi, ketika itu belum ada rencana menjadikan Aur Kuning sebagai pasar grosir.

Belakangan barulah predikat sebagai pusat grosir disematkan. Jejaknya kemudian terlihat dengan kemacetan yang relatif parah di sekitar pasar atau sulitnya mencari tempat parkir.

Nama Aur (Minang: Aua) Kuning berarti sejenis bambu kuning berdiameter kecil. Agaknya perkembangan Pasar Aur Kuning mengikuti pula filosofi bambu.

Ketika muda sebagai rebung, bambu berguna untuk dimakan. Seiring dengan pertambahan umur, manfaatnya berganti. (Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com