Sejarah mencatat Palembang di zaman Sriwijaya adalah sebuah kota kosmopolitan. Artinya, kota internasional yang mengundang pendatang dari berbagai penjuru dunia. Begitu kosmopolitannya, konon burung beo di ibu kota Sriwijaya berceloteh beragam bahasa.
Penulis Arab, Ibn al-Fakih, membuat catatan pada tahun 902, burung multibahasa itu berceloteh Arab, Persia, China, bahkan Yunani. Bisa dibayangkan betapa masyhurnya Zabag, sebutan Sriwijaya, saat itu.
Catatan ini ditulis di disertasi sejarawan Asia Tenggara berkebangsaan Inggris, OW Wolters. Terjemahannya, ”Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III-VII”. Di disertasi itu, Wolters mengatakan, orang-orang asing berdatangan ke ibu kota Sriwijaya sepanjang tahun. Kemasyhuran Sriwijaya diakui kekaisaran Tiongkok yang menyebut penguasa Sriwijaya sebagai raja yang dipertuan Sriwijaya, raja tertinggi dari semua raja di muka bumi.
Tanda-tanda keberadaan kerajaan besar baru ditemukan tahun 1918. Sebelumnya, Sriwijaya tak dikenal. Keberadaannya, ibarat Atlantis, yaitu ada dan tiada. Hanya kabar kalau pernah ada kerajaan besar menguasai jalur perdagangan dunia di Selat Malaka.
Sejarawan Asia Tenggara, Coedes, pertama membuktikan keberadaan kerajaan besar dan mengenalkan nama Sriwijaya. Ia pelajari prasasti dan naskah-naskah kuno. Hingga kini, bukti fisik keberadaan Sriwijaya sangat minim. Diduga, Sriwijaya membangun kota di atas air menggunakan kayu dan bambu yang rapuh sehingga hilang dimakan waktu. Kerajaan itu juga minim mencatat sejarahnya. Sejarah Sriwijaya lebih banyak disusun dari catatan tua penjelajah China dan Arab serta prasasti kuno.
Beberapa bukti fisik yang tersisa mengungkapkan jejak kekosmopolitan Palembang di masa lalu. Ekspedisi Sriwijaya oleh Balai Arkeologi Palembang tahun 2009 menemukan tanggul kayu sisa kompleks permukiman kuno, manik-manik dari India, serta keramik China.
Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti mengatakan, temuan itu mengindikasikan banyak kompleks permukiman warga asing di sepanjang Musi. ”Sriwijaya menampung banyak warga asing,” ujarnya.
Peneliti sejarah JJ Rizal menambahkan, gambaran Palembang di era Sriwijaya begitu luar biasa. Ibu kota Sriwijaya bisa disetarakan dengan kota-kota internasional. Sebutlah, Singapura atau Hongkong di zaman sekarang. ”Bayangkan zaman dulu di Palembang sudah tersedia akomodasi bagi ribuan tamu asing. Ini berlangsung setidaknya 500 tahun,” ujarnya.
Pendidikan
Di masa keemasan pada abad VII-XI, kekosmopolitan ibu kota Sriwijaya didukung perdagangan dan pendidikan. Selama 500 tahun, Sriwijaya menguasai jalur perdagangan internasional di Asia Tenggara. Pelabuhan perdagangan internasional dari Selat Malaka hingga dermaga di Jawa Barat dikuasainya.
Di bidang pendidikan, nama ibu kota Sriwijaya pun begitu masyhur. Palembang diyakini sebagai tempat berdirinya salah satu perguruan tinggi tertua di Asia Tenggara. Konon, sekitar 1.000 siswa belajar agama Buddha di Sriwijaya sebelum ke universitas kuno di India. Sejumlah ahli memperkirakan lokasinya sekarang bernama Bukit Siguntang tempat penemuan arca Buddha dari batu granit setinggi 2,77 meter dan sisa stupa.
Kini, Kota Palembang masih menjadi kota metropolitan. Pembangunan pesat dan geliat perdagangan masih sangat terasa. (Irene Sarwindaningrum)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.