Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siklus Manusia di Candi Sukuh

Kompas.com - 26/01/2015, 10:52 WIB
KABUT tebal menyelimuti kawasan Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Di sela-sela hawa dingin menyengat, puluhan penari bertopeng hitam dan putih tampak berbaris, berderet sambil mengentak-entakkan tangan dan kaki. Entakannya menguarkan bau tanah yang baru saja disiram gerimis hujan.

Candi di lereng Gunung Lawu ini menyimpan rekam jejak siklus manusia sejak proses penciptaan hingga bangkit setelah kematian (moksa). Di Candi Sukuh, siklus itu terukir di relief-relief batu yang menjadi bukti kembalinya kearifan lokal pada akhir masa Majapahit.

Di sela-sela dinding candi, suara gamelan menggema mengiringi gerakan. Di atas batu berbentuk kura-kura raksasa, seorang penari bertopeng hitam dengan mimik wajah menyeringai berdiri mengayun-ayunkan tongkat. Penari lain, yang juga membawa tongkat, bertopeng putih dengan kumis tebal melintang di atas bibir.

Mereka adalah Sabdo Palon dan Naya Genggong, dua abdi terkenal pada masa Brawijaya, raja terakhir Majapahit yang mulai surut kejayaannya pada abad ke-15. Keduanya memimpin barisan. Setelah beberapa kali membuat formasi gerakan, sekali mengentakkan tongkat, para prajurit topeng pun terkapar.

Dari relief yang terpahat di dinding Candi Sukuh, kisah Sabdo Palon-Naya Genggong ”dihidupkan” oleh seniman tari Suprapto Suryodharmo dalam acara Srawung Seni Candi, akhir tahun 2013. Dengan tema serupa, Srawung Seni Candi kembali diadakan untuk menutup tahun 2014.

Siang itu, ketika kabut mulai menyelimuti kawasan Candi Sukuh, kami bersama Gunawan, salah seorang penjaga candi, mencoba menelusuri cerita kisah penciptaan manusia ini.

Gunawan menunjukkan sosok Sabdo Palon-Naya Genggong terukir di salah satu panel batu yang ditata berjejer di teras halaman paling atas Candi Sukuh. Relief tersebut menjadi salah satu ciri khas candi yang terletak di lereng barat Gunung Lawu dengan ketinggian 910 meter di atas permukaan laut ini.

Untuk menuju lokasi candi, diperlukan waktu lebih kurang satu jam dari Kota Solo melalui jalanan menanjak dengan sudut kemiringan lebih dari 30 derajat.

KOMPAS/LUSIANA INDRIASARI Gaya bangunan Candi Sukuh mirip punden berundak, terdiri atas teras berundak yang makin sempit di bagian belakang. Bangunan suci juga diletakkan di bagian belakang.
Di kalangan arkeolog, Candi Sukuh memiliki bentuk langka dibandingkan dengan gaya percandian lain di Indonesia. Bersama Candi Cetho yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Candi Sukuh, kedua candi Hindu itu memiliki gaya arsitektur berbeda.

”Gaya arsitektur Sukuh dan Cetho kembali mengacu pada kebudayaan megalitik, masa sebelum Hindu-Buddha masuk Nusantara,” kata Timbul Haryono, guru besar arkeologi masa klasik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Arsitektur menyimpang

Menurut Timbul, arsitektur Candi Sukuh dinilai menyimpang dari ketentuan Wastu Widya, yaitu kitab pedoman pembuatan bangunan suci Hindu.

Denah Sukuh berbentuk teras berundak dengan halaman depan teras lebih luas daripada bagian belakang. Denah semacam itu mirip bangunan punden berundak masa megalitik.

Selain itu, bangunan suci Candi Sukuh juga diletakkan di bagian paling tinggi dan belakang. ”Ciri-ciri semacam itu jelas berasal dari masa megalitik,” kata Timbul.

Kami menjelajahi kompleks candi yang tidak terlalu luas, hanya sekitar 5.500 meter persegi. Halaman Candi Sukuh terbagi menjadi tiga teras. Setiap teras lebih luas pada bagian depan dan menyempit di bagian belakang.

Tidak jauh dari Candi Sukuh terdapat Candi Cetho yang berukuran jauh lebih besar, memiliki 11 teras berbentuk punden berundak.

Menurut penelitian, sebenarnya ada 13 teras di Candi Cetho, tetapi yang ada sekarang tinggal 11 teras. Candi ini juga dibangun pada masa akhir Majapahit, yaitu tahun 1451-1475. Adapun Candi Sukuh selesai dibangun tahun 1437.

Timbul mengatakan, meski bangunan dengan ciri serupa ditemukan pada peninggalan suku Maya di Amerika Tengah, tidak perlu mengaitkan Sukuh dengan Maya. ”Terlalu jauh dan tidak ada buktinya,” ujarnya.

Kemunculan bentuk bangunan semacam Sukuh pada masa akhir Majapahit yang beraliran Hindu menjadi bukti mulai lunturnya pengaruh Hindu di Jawa. Kebudayaan baru yang datang kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur budaya lokal dari masa megalitik.

”Ini fenomena biasa. Sebuah kebudayaan setelah berada di puncak akan surut. Pada masa transisi menuju kebudayaan lain yang lebih baru, biasanya selalu ada upaya untuk memunculkan kembali simbol-simbol dari kebudayaan lama. Berupaya menggali akar lokalitas,” tutur Timbul. Kalau candi-candi lain di Jawa umumnya dibangun menghadap ke timur, Sukuh dan Cetho dibangun menghadap ke barat.

KOMPAS/LUSIANA INDRIASARI Candi Srawung
Bentuk bangunan Candi Sukuh sekilas seperti piramida yang terpotong. Bahan bakunya adalah batu andesit merah. Menurut Gunawan, sebetulnya bagian atas candi terbuat dari tiang dan atap berbahan organik, seperti kayu, bambu, atau ijuk. Bagian itu sudah tidak bersisa karena hancur dimakan usia. Bagian atas yang bersisa adalah lantai dari ”pendapa” itu.

”Kesimpulan itu muncul karena terdapat ceruk-ceruk pada bagian atas kaki candi. Ceruk itu diperkirakan sebagai tempat meletakkan tiang (umpak),” kata Timbul. Pada bagian atas candi pernah ditemukan lingga, arca berbentuk penis, dengan lima bulatan setinggi 1,8 meter yang kini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Nama Candi Sukuh mendunia setelah pada tahun 1815 ditemukan peneliti Inggris dan dilaporkan kepada Thomas Raffles yang saat itu menguasai Jawa. Saat ditemukan, candi dalam keadaan rusak parah. Arca-arcanya hancur. Ada pula yang terbelah dan rusak menjadi kepingan-kepingan lebih kecil. Beberapa reliefnya seperti digores benda tajam. (Lusiana Indriasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jakarta Tourist Pass Dirilis Juni 2024, Bisa Naik Kendaraan Umum Gratis

Jakarta Tourist Pass Dirilis Juni 2024, Bisa Naik Kendaraan Umum Gratis

Travel Update
Daftar 17 Bandara di Indonesia yang Dicabut Status Internasionalnya

Daftar 17 Bandara di Indonesia yang Dicabut Status Internasionalnya

Travel Update
Meski Mahal, Transportasi Mewah Berpotensi Dorong Sektor Pariwisata

Meski Mahal, Transportasi Mewah Berpotensi Dorong Sektor Pariwisata

Travel Update
Jakarta Tetap Jadi Pusat MICE meski Tak Lagi Jadi Ibu Kota

Jakarta Tetap Jadi Pusat MICE meski Tak Lagi Jadi Ibu Kota

Travel Update
Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Travel Update
Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Travel Update
Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Travel Update
Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com