Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjelajahi Bumi Flores dari Barat ke Timur...

Kompas.com - 23/08/2015, 13:04 WIB
Kontributor Manggarai, Markus Makur

Penulis

SENIN, 10 Agustus 2015, jam dinding di rumah kami menunjukkan pukul 07.30 WITA. Kami bergegas menyiapkan diri untuk menempuh perjalanan jauh dari bagian Flores Barat menuju ke Flores bagian Timur.

Kendaraan oto colt yang membawa kami sudah parkir di depan rumah setelah menempuh perjalanan rusak dari kampung Waekolong, Desa Ranakolong, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur. Oto colt merupakan kendaraan utama yang mampu menerobos kampung-kampung yang jalannya rusak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Setelah berkumpul di rumah dan menikmati kopi manggarai pagi itu, sang sopir, Kons, sudah memberikan aba-aba dengan menghidupkan mesin kendaraan sebagai tanda perjalanan segera dimulai. Semua barang yang diperlukan dalam perjalanan sudah masuk kendaraan. Bahkan bekal makanan dalam perjalanan seperti ketupat, daging ayam dan air minum sudah dimuat di dalam kendaraan. "Orang Manggarai Timur juga bisa membuat ketupat," kata saya dalam hati.

Kami sekeluarga sekitar 12 orang mulai menyusuri jalan raya negara dari Waelengga, ibu kota Kecamatan Kota Komba menuju ke Aimere, ibu kota Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada. Memasuki wilayah Aimere, Jerebuu, dengan jalan raya yang berkelok-kelok seperti seekor ular yang sedang berlari.

Sang sopir, Kons, yang sudah berpengalaman mengendarai kendaraan lintas Flores melaju dengan kecepatan yang sesuai dengan aturan lalu lintas.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Turis Belanda saat menghadiri syukuran keluarga, Kaul Kekal di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dari Aimere sampai di Terminal Watujaji, kami menempuh perjalanan 2 jam lebih. Istirahat sebentar. Lalu, kami terus melakukan perjalanan dengan melewati Mataloko, Pusat Seminari Menengah Santo Yohanes Berkmans. Kami sangat kagum dengan gedung-gedung seminari yang dibangun oleh para misionaris yang bertugas di tempat itu pada zaman dahulu.

Bahkan, saat berdiskusi di atas kendaraan, kami semua mengagumi cara ahli dari Belanda pada zaman penjajahan dengan membangun jalan raya Negara lintas Flores dengan topografi yang sangat berat. Namun, kami juga mengatakan, meretas jalan raya di Pulau Flores oleh Belanda, tetapi yang bekerja adalah orang-orang Flores.

Kami terus melintasi berbagai pemandangan alam di kiri kanan jalan negara di Pulau Flores. Kami menikmati keindahan alam di sekitar gunung api Inerie.

Memasuki wilayah Kabupaten Nagekeo, di Boawae, kami menikmati keindahan gunung api Ebulobo. Sayangnya, saat musim kemarau ini, padang savana yang mampu dilihat oleh mata semua pada kering.

Setelah melewati Kampung Boawae, kami memasuki Pasar Raja, yang berada di pinggir jalan raya. Saat itu, Selasa (11/8/2015) adalah hari pasar sehingga ribuan orang dari berbagai kampung di sekitar Raja memadati pasar tersebut untuk belanja barang, baik barang keperluan rumah tangga maupun pakaian.

Sesudah itu, kami memasuki wilayah Aegela, jalan pintu masuk ke Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo. Selanjutnya, kendaraan kami laju di jalan menurun yang sangat mulus karena aspal hotmix baru selesai dikerjakan menuju ke Nangaroro.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Perahu nelayan di Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dari Nangaroro, kami melintasi pinggir pantai dengan pemandangan pulau-pulau di sekitar Nangaroro serta ribuan pohon kelapa. Buah kelapa sebagai penopang ekonomi keluarga masyarakat di sekitar itu dengan menjual kelapa dan mengolah menjadi minyak kelapa.

Ah, betapa indahnya Pulau Flores yang dianugerahkan Tuhan bagi Bangsa Indonesia. Bukan hanya keindahan alam di Nangaroro, melainkan kami dikejutkan dengan keindahan alam yang disuguhkan di wilayah Nangapanda.

Pesisir pantai Nangapanda mampu memikat mata kami dari atas kendaraan sambil mensyukuri keindahan alam yang tersebar dari bagi barat, tengah hingga di bagian Timur.

Selanjutnya kami memasuki kota lahirnya butir-butir Pancasila yang direnungkan Presiden Pertama RI, Ir Soekarno saat diasingkan oleh Belanda di Kota Ende. Kami bangga bahwa butir-butir kebangsaan Indonesia dilahirkan dari kota yang sangat jauh dari Jakarta. Bahkan kami melewati rumah Bung Karno saat diasingkan. Semua heran. Selanjutnya, kami makan siang di keluarga di Kota Ende.

Sesudah makan bersama, kami melanjutkan perjalanan. Tiba di kilometer 10, 17, terjadi antrean panjang akibat pengerjaan jalan raya negara. Ada sejumlah eskavator dan loader sedang membelah tebing untuk pelebaran jalan raya. Sekitar 2 jam kami berhenti.

Setelah pukul 17.00 Wita, kendaraan baru bisa berjalan. Kami melewati Detusoko, Kampung Moni, tempat pintu masuk ke danau tiga warna Kelimutu. Saat melintasi wilayah Moni, kami melihat wisatawan mancanegara sedang jalan kaki dari arah Danau Kelimutu.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Kapela di Ledalero dijadikan tempat ziarah di Maumere, NTT.
Selanjutnya, kami melintasi jalan raya yang berkelok-kelok menuju ke Wolowaru seterusnya ke Watuneso, daerah perbatasan Kabupaten Ende dan Kabupaten Sikka.

Saat memasuki Watuneso sudah malam sehingga kami tidak melihat pemandangan alam di sekitarnya. Dari Watuneso sampai di rumah keluarga di Maumere, lama perjalanan 2,5 jam. Dan kami tiba sekitar pukul 22.30 Wita. Menakjubkan perjalanan selama 2 hari itu. Semua badan lelah dari perjalanan yang melintasi 7 kabupaten di Pulau Flores.

Mengeliling Pulau Flores kali ini untuk menghadiri dan memberikan dukungan bagi adik, dan saudara kami yang menerima kaul kekal menjadi Imam Katolik di Serikat Sabda Allah di Ledalero, yang dilaksanakan pada 15 Agustus 2015. Sebagaimana tradisi dari Serikat Sabda Allah bahwa pada Upacara Kaul Kekal, orangtua dari Calon Imam itu harus hadir.

Selama beberapa hari di Kota Maumere, sebagian kami istirahat karena masih lelah dan sebagiannya mengunjungi tempat-tempat ziarah yang berada di sekitar Kabupaten Sikka.

Salah satu tempat ziarah yang dikunjungi oleh Stefanus Anggal adalah ruangan kamar tidur dari mendiang Paus Yohanes Paulus II yang sudah menjadi Santo Yohanes Paulus (orang kudus) saat berkunjung ke Ledalero. Tempat ziarah ini ramai dikunjungi umat Katolik dari berbagai kabupaten saat berkunjung ke Kabupaten Maumere dan juga tempat ziarah lainnya.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Orangtua memberkati Frater saat upacara Kaul Kekal di Flores, NTT.
Sebagian lagi menghabiskan waktu dengan membeli buku di toko Gramedia, berkunjung ke pasar Maumere dan mengunjungi pusat pertokoan di Kota Maumere untuk berbelanja. Pada hari berikutnya, pergi mandi di Pantai Wairhubing sambil melihat Eco Cottages yang bernuansa alamiah serta motif cottages dengan rumah adat masyarakat Bajawa.

Pemilik Cottages, Ignasius Kasar, kepada KompasTravel, Minggu (16/8/2015) menjelaskan, pembangunan Eco Cottages dengan konsep rumah adat masyarakat Bajawa ingin memberikan yang berbeda dengan pembangunan cottage lainnya.

Selama ini pembangunan cottage dan hotel di Pulau Flores selalu bernuansa barat. Saya memulai dengan konsep rumah adat dari masyarakat Flores, yang dimulai dari rumah adat masyarakat Bajawa.

Ke depan, Ignasius merencanakan pembangunan cottage dengan rumah adat masyarakat Manggarai, Sumba dan seluruh rumah adat di Pulau Flores. Ini memberikan nilai tersendiri dalam melestarikan rumah-rumah adat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

“Saya mau mengangkat keaslian budaya masyarakat Flores, mulai dari rumah adatnya maupun berbagai keterampilan yang unik. Keterampilan unik yang sudah diwariskan leluhur masyarakat Flores mulai tersingkir dengan budaya modern,” jelasnya.

Balik ke bagian Barat

Senin 17 Agustus 2015, setelah Upacara 17 Agustus di Kota Maumere, kami bergegas pulang sekitar pukul 13.00 Wita. Dari Kota Maumere, kami melihat keindahan alam yang ada di sekitar wilayah Maumere. Ribuan pohon kelapa ada di kiri kanan jalan di wilayah Sikka.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Matahari terbenam di Pulau Boleng, Flores, NTT.
Selain itu kami melihat keindahan Pantai Koka, yang terletak di pinggir jalan raya negara lintas Flores.

Selanjutnya kami makan malam di sekitar Pantai Nangapanda sebelum berangkat menuju ke bagian barat untuk kembali beraktivitas sebagaimana biasanya. Di Pantai Nangapanda, kami menikmati sinar matahari yang sedang terbenam. Keindahan sinar matahari yang menyinari gunung-gunung dan pantai sangat menakjubkan mata. Semua satu suara betapa indahnya Pulau Flores tercinta.

Maria Daflora Echo menuturkan, perjalanan kali ini dengan melewati 7 kabupaten bersama keluarga sungguh sangat indah dan menakjubkan. Perjalanan keliling Flores bersama keluarga kali ini memberikan kesan tersendiri di mana kebersamaan, kekeluargaan sambil menikmati keindahan alam dan menyaksikan anugerah Tuhan kepada adik saya yang mengikrarkan Kaul Kekal di biara Serikat Sabda Allah di Ledalero.

“Saya bisa mengunjungi tempat-tempat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dengan suasana yang sepi dan tenang. Saya juga mengunjungi Pantai Wairhubing yang sangat indah bahkan bisa bersantai di pinggir pantai Nangapanda sambil makan bersama keluarga besar,” jelasnya.

Kami tiba di rumah di Kompleks Waelengga sekitar pukul 22.00 Wita. Dan akhirnya kami mampu melewati 7 kabupaten di Pulau Flores. Ketujuh Kabupaten itu adalah Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende dan Sikka. Sungguh luar biasa dapat menikmati alam yang indah di Pulau Flores.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com