Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (192): Padang Pasir

Kompas.com - 30/04/2009, 08:58 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Benteng kuno Umerkot membayangi seluruh penjuru kota kecil ini. Anggun dan gagah, walaupun sudah tak banyak sisanya. Kota kelahiran Akbar-e-Azam, raja terbesar dinasti Mughal, kini menjadi kota Hindu terpencil jauh di pedalaman Sindh di selatan Pakistan. Lebih tragis lagi, tempat kelahiran Akbar, kini ditandai dengan sebuah gedung prasasti kecil tak menarik, terlupakan di pinggiran Umerkot.

          “Dia memang raja besar, tetapi dia melupakan akarnya, tanah kelahirannya,” keluh seorang penduduk Umerkot.

Sejarah masa lalu Umerkot memang pernah sangat gemilang. Raja besar dunia pernah lahir di sini, dan para penakluk perkasa pernah melintasi kota ini untuk menaklukan negeri di seberang beringasnya padang pasir Thar.

Tetapi gurun ini tidak selalu ganas dan muram.

Di siang hari, wajah kota ini menjadi semarak luar biasa dengan datangnya orang-orang dari pedalaman padang gurun Thar. Wanita-wanita dari gurun terkenal dengan pakaian yang berwarna-warni liar, seperti pemberontakan terhadap kering dan monotonnya padang pasir. Ada warna merah membara bergambar bunga-bunga, ada hijau yang memberi kesegaran, ungu yang sejuk, dan biru gelap seperti warna langit. Yang Hindu kebanyakan memakai choli dan polka, kaus ketat dan rok panjang sampai ke mata kaki. Wanita Muslim biasanya masih setia dengan shalwar kamiz, celana kombor dan jubah panjang. Semuanya berkerudung, dengan warna-warni yang sama liarnya. Kerudung bukan hanya dominasi umat Muslim, tetapi juga bagian tradisi wanita Hindu di anak benua India.

Dibandingkan wanita-wanitanya yang berpakaian glamor, para pria di Umerkot berpakaian seperti halnya pria-pria Pakistan pada umumnya - shalwar kamiz sederhana dengan warna-warna yang itu-itu saja.. Menurut Om Parkash Piragani, seorang Hindu dari kasta Rajput (Khsatriya), kita bisa tahu apakah seseorang itu Hindu atau Muslim dari bahasanya. Kebanyakan orang-orang Hindu di padang pasir ini berasal dari kasta Sudra, kasta terendah. Tetapi mereka masih berbahasa Mawari, bahasa kaum Rajput (kasta para pejuang dan ksatria) dari Rajasthan.

Om Parkash mengajak saya sejenak meninggalkan kota Umerkot, menuju ke jantung padang pasir Thar yang luas terhampar. Kami berangkat bersama mobil NGO tempat Parkash bekerja. Bersama kami ada Mumtaz, wanita petugas lapangan, yang hari ini bertugas memberi penyuluhan kepada penduduk suku-suku padang pasir tentang pentingnya KTP.

Ada lebih dari 800 desa tersebar di seluruh penjuru padang pasir Thar. Umat Muslim dan Hindu tidak bercampur. Di desa-desa Muslim, yang memegang teguh prinsip pemisahan gender, cuma Mumtaz yang bisa memberi penyuluhan kepada kaum hawa. Di desa Hindu, saya tak mengalami masalah berinteraksi langsung dengan para perempuan desa.

Desa Soomon Bheel, sekitar 20 kilometer dari Umerkot, adalah desa Hindu yang kering kerontang. Rumah-rumah berbentuk bulat dengan atap dari daun-daunan berbentuk lancip, bertebaran mengisi kekosongan padang pasir. Semua dengan warna pasir, kuning muram yang selalu sama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com