Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Manjakan Turis Asing dengan Batik Tulis Berkualitas

Kompas.com - 16/01/2012, 15:43 WIB
Josephus Primus

Penulis

MAKAN siang di penghujung tahun lalu dengan Presiden Direktur Philips Indonesia Robert Fletcher dan Philips Head of Communications Region Asia Pacific Arent Jan Hesselink memang meninggalkan kesan. Paling tidak buat buat saya dan beberapa rekan wartawan dari beberapa media terpilih. Apalagi, tatkala AJ, sapaan akrab Arent Jan Hesselink yang Wong Londo atau orang Belanda itu, berkomentar tentang motif kemeja batik yang dikenakan bosnya. "Motif batik itu apa ya?" begitu pertanyaan AJ yang pastinya tak berhasil mendapat jawaban pas dari kami.

Meski menangani wilayah Asia Pasifik, termasuk Indonesia, AJ lebih banyak tinggal di Singapura. Makanya, AJ mengaku belum memunyai pengetahuan mendalam soal batik.

Hal sebaliknya, dialami Robert Fletcher. Ia sudah lima tahunan tinggal di Indonesia. "Saya memakai batik kalau ada pertemuan-pertemuan seperti ini," kata pria yang akrab dipanggil Rob tersebut.

Batik yang mendapat pengakuan sebagai warisan budaya tak benda dari UNESCO sejak 2009 silam adalah teknik pewarnaan kain menggunakan malam (semacam lilin) untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Khazanah internasional mengenal teknik ini sebagai wax resist dyeing.

Boleh dibilang, pengakuan UNESCO itu benar-benar membawa berkah. Catatan saat World Batik Summit 2011 di Jakarta Convention Center pada 28 September hingga 2 Oktober tahun lalu menunjukkan kalau penjualan batik terkait sektor pariwisata menembus angka Rp 1 triliun. Menteri Kebudayaan Pariwisata waktu itu, Jero Wacik, mengakui angka tersebut.

Namun, berangkat dari obrolan ringan di atas, banyak wisatawan asing alias turis bule masih belum banyak memiliki pengetahuan memadai soal batik. Dengan kata lain, acap, batik menjadi kawasan antah-berantah.

Paling simpel, bagai kebanyakan orang asing macam AJ, begitu beragam motif batik. Namun, mereka tak tahu, bahkan, nama, asal-usul, hingga orisinalitas pewarnaan.

Tak hanya itu, batik, bagi sementara kalangan turis mancanegara yang benar-benar awam, makin menjadi ruang teramat luas gara-gara kain bermotif batik atau yang lazim dikenal sebagai batik printing bermunculan di mana-mana. Dominasi industrialisasi, baik lokal maupun asing, membuat batik justru mendapat pesaing dari dunia pertekstilan. "Batik printing bukan batik," tegas pelaku usaha Batik Handayani asal Desa Beluk, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, T.S. Goenarto.

Cerita

Beragamnya motif batik memang berangkat dari kekayaan lokal. Biasanya, kekayaan berikut keanekaragaman yang dekat dengan para pembatik itu sendiri. Menurut Goenarto, beberapa motif batik tulis seperti Ganggang Kukup, Iwak Rowo, Teratai Jombor, Kipas Pandanaran, dan Jagad Mbogem, berasal dari lokasi pariwisata di kawasan Kecamatan Bayat.

Motif Iwak Rowo dan Teratai Jombor asal-muasalnya dari ikan dan teratai yang berada di Rawa Jombor. Rawa tersebut menjadi lokasi pariwisata setempat.

Hal sama juga terdapat pada motif Kipas Pandanaran. Pembatik melukiskan kebiasaan pedagang kipas yang menjajakan barang dagangannya di kompleks makam Ki Ageng Pandanaran, masih di Kecamatan Bayat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com