Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wangi Beras Berembus hingga Makau

Kompas.com - 18/10/2013, 20:12 WIB
Wisnubrata

Penulis

Sumber KOMPAS

BERAS merupakan komoditas ekspor utama Makassar dalam jaringan perniagaan abad XVI-XVII. Kala itu, beras dari Kerajaan Gowa-Tallo atau Makassar diperdagangkan ke seluruh Nusantara dan mancanegara, seperti Malaka, Siam, Myanmar, hingga Makau.

Tome Pires, penulis Portugis yang mencatat perjalanannya di Malaka pada tahun 1512-1515, menyebutkan pedagang Makassar datang ke Malaka dengan membawa beras dan emas.

”Beras yang dibawa pedagang Makassar dikenal berkualitas tinggi dengan warna putih dan beraroma wangi,” ujar sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward L Poelinggomang. Karena kualitas itu, beras laku ditukar dengan berbagai komoditas berharga dari negeri lain, seperti cengkeh, pala, cendana, tekstil, sutra, dan porselen.

Wilayah yang subur dan luas mencakup sebagian besar Sulsel membuat Kerajaan Gowa-Tallo mampu mengekspor beras dalam jumlah besar. Hingga kini pun Sulsel tercatat sebagai lumbung beras di Indonesia timur. Surplus 2 juta ton beras Sulsel dikirim untuk 12 provinsi di Indonesia timur dan sebagian Indonesia barat.

Beras beraroma wangi berwarna putih itu salah satunya dihasilkan di Maros, yang kini merupakan kabupaten di sebelah utara Kota Makassar. Pada masa Presiden Soekarno, beras Maros dipasok untuk kebutuhan istana. ”Berasnya sangat pulen dan rasanya enak sekali meski dimakan tanpa lauk,” ujar Edward.

Sayangnya, kini padi yang melegenda itu sudah lama ditinggalkan petani karena dinilai kurang ekonomis. Padi bernama ”Banda” itu hanya bisa ditanam sekali dalam setahun pada musim hujan dengan produktivitas 2-3 ton per hektar. Sementara padi varietas modern bisa dipanen 2-3 kali setahun dengan produktivitas 6-8 ton per hektar.

Para petani sejak tahun 1970-an beralih ke varietas modern. Meski demikian, masih ada pihak yang setia melestarikan varietas padi endemik yang berbulu itu. Padi Banda setiap tahun masih ditanam pewaris Kerajaan Marusu, penguasa wilayah Maros dulu. ”Musim tanam biasanya pada November,” kata tokoh adat sekaligus pewaris Raja Marusu, Andi Abdul Waris Tadjuddin.

Padi adalah salah satu elemen penting dalam kebudayaan di Sulsel, termasuk di Maros. Sebuah upacara adat bernama ”Appalili” digelar setiap padi banda hendak ditanam. Saat akan panen, komunitas adat menggelar upacara Katoboko.

Keluarga kerajaan juga masih menyimpan berbagai peralatan bertani tradisional yang kini berstatus pusaka kerajaan. Salah satunya pa’jeko (pembajak sawah). Padi ditanam di lahan adat seluas 1,1 hektar. Beras hasil panen dikonsumsi sendiri dan untuk hidangan acara-acara keagamaan, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW dan Tahun Baru Hijriah.

Bupati Maros Hatta Rahman mengatakan, daerahnya masih sangat bertumpu pada pertanian padi karena 60 persen dari 350.000 penduduknya adalah petani. Bibit jenis Mekonga dan Ciherang menjadi pilihan menggantikan varietas lama karena bisa dipanen tiga kali setahun.

”Pertanian menjadi prioritas kami,” kata Hatta. Ia melarang pengembang pemukiman merambah wilayah persawahan irigasi teknis.

Saat ini, daerah selatan Maros yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar terus dilirik untuk pengembangan properti. Komitmen bupati dipertaruhkan.
(M FINAL DAENG/NASRULLAH NARA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com