Saya selalu membutuhkan yang asli buatan Indonesia. Pemasok bahan saya dari Bandung dan setahu saya ia mengambilnya dari Jawa Timur. Tanpa itu, rasa masakan ada yang kurang,” ujar Bahar Riand Passa, direktur sekaligus pengelola bisnis keluarga Ayam Penyet Presiden di Singapura, awal April lalu.
Terasi dan petis. Dialah si kecil yang sekilas remeh, tetapi penting bagi kenikmatan cita rasa masakan Indonesia ala Bahar. Tanpa terasi dan petis Indonesia, ia tidak akan bisa menyajikan Ayam Penyet Presiden yang sudah dibangunnya sejak 2009. Kini, Ayam Penyet Presiden sudah buka di tiga tempat di Singapura, yaitu di kawasan Jalan Orchard, Serangoon, dan di Tampines.
Dalam sehari, satu restoran keluarga Bahar tersebut bisa dikunjungi 600-an konsumen, baik orang Indonesia yang berada di Malaysia maupun orang Singapura, serta orang AS dan Eropa. Tinggiya minat terhadap masakan Indonesia membuat Bahar berencana membuka cabang ayam penyet lagi tahun ini.
Jika masakan Indonesia ala Bahar mewakili era kekinian, ada juga masakan Indonesia yang sudah berkembang sejak tahun 1940-an di Singapura. Dialah sate Sudi Mampir milik Pak Johan, warga asli Klaten yang saat itu mengadu nasib di Singapura.
”Masakan Indonesia itu luar biasa. Rasanya sangat nikmat sehingga banyak orang suka, mulai dari warga biasa hingga penghuni istana,” ujar Gunawan menceritakan kisah sate Sudi Mampir yang pernah menjadi suguhan di istana negara Singapura.
Jika Bahar dan Gunawan adalah pelaku usaha kuliner Indonesia berdarah Indonesia, lain halnya dengan Fiona (55). Ia adalah warga Singapura tetapi pencinta sejati masakan Indonesia. Mulai tahun 2000, ia membuka rumah makan masakan Indonesia Cumi Bali di daerah Tanjong Pagar.
Fiona menjual menu di antaranya lodeh, tahu tempe balado, sate, rendang, tahu telor, ikan asam pedas, es cendol, dan bubur ketan hitam. Ia yang dibantu dua koki asal Indonesia (Padang dan Bintan) berusaha menyuguhkan aneka masakan khas Indonesia dengan cita rasa asli.
”Untuk mendapatkan rasa otentik, saya harus mendapatkan gula jawa dari Indonesia. Gula merah di sini berbeda, tidak memberikan rasa nikmat seperti gula jawa dari Indonesia. Untuk bumbu lain, saya bisa dapatkan dari Singapura atau Batam,” ujar Fiona.
Bahar, Gunawan, dan Fiona adalah beberapa pelaku usaha masakan Nusantara yang sudah memiliki nama di Singapura. Dari mereka-mereka inilah, kuliner Nusantara dikenalkan. Harapannya, banyak pelaku usaha masakan Indonesia lain hingga ke seluruh pelosok dunia.
Jambore kuliner
Selain kuliner tersebut, sebenarnya upaya mengenalkan kuliner Nusantara juga dilakukan oleh Kecap Bango. Pekan lalu, tepatnya 8-12 April 2015, Bango mengusung empat masakan tradisional Indonesia untuk mengikuti jambore kuliner di ajang World Street Food Congress (WSFC) 2015 di kawasan terbuka Bugis, Singapura.