Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita Malin Kundang dan Tradisi Merantau Laki-laki Minangkabau

KOMPAS.com - Siapa yang tak tahu kisah Malin Kundang, si anak durhaka dari Sumatera Barat yang dikutuk menjadi batu?

Saking terkenalnya, banyak wisatawan penasaran hingga jauh-jauh ke Pantai Air Manis, Kecamatan Padang Selatan, Sumatera Barat, demi melihat langsung wujud batu yang konon adalah sosok Malin Kundang.

Cerita Malin Kundang beredar turun-temurun

Sebagaimana disampaikan Kepala Dinas Pariwisata Kota Padang, Eri Sendjaya, cerita ini beredar turun temurun di kalangan masyarakat Sumatera Barat.

"Cerita ini sudah turun temurun, bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia, cerita ini sudah mulai diangkat. Sesuai falsafah Minangkabau, 'Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah', artinya adat kita di Minangkabau selalu berlandaskan nilai-nilai agama, termasuk menghormati orangtua," jelas Eri kepada Kompas.com, Rabu (18/5/2022).

Hal senada juga disampaikan oleh Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Nasional, Andi Achdian.

  • Itinerary Wisata 3 Hari 2 Malam di Padang, Ada Batu Malin Kundang
  • Batu Malin Kundang Jadi Tujuan Wisata Peselancar

Andi mengatakan, Malin Kundang adalah cerita rakyat dengan banyak versi di beberapa daerah, namun menyampaikan satu tujuan, yakni menghormati orangtua.

"Cerita seperti Malin Kundang itu kebudayaan Melayu, termasuk Malaysia dan Kalimantan. Jangankan di Malaysia, di Kalimantan juga ada cerita Batu Menangis, moralnya sama, bahwa penghargaan terhadap orangtua, khususnya ibu," tutur Andi.

Adapun dalam cerita Malin Kundang, anak yang durhaka adalah anak laki-laki. Sedangkan, dalam cerita Batu Menangis, tokoh anak yang durhaka adalah anak perempuan.

"Kita tidak tahu tanggal persisnya kapan cerita itu beredar, namun menariknya ada pola cerita, yang jelas, yaitu penghargaan terhadap orangtua," sambungnya. 

Tradisi merantau anak laki-laki Minangkabau dalam Malin Kundang

Cerita Malin Kundang dinilai menggambarkan tentang hubungan anak dan orangtua.

Malin Kundang diceritakan tidak mengakui keberadaan ibunya setelah sukses dan kembali ke kampung halaman. Alhasil, sang ibu mengutuknya menjadi batu.

"Dalam nilai historisnya memang kebiasaan dari keluarga Minangkabau adalah anak laki-laki biasanya akan merantau, harapannya agar para perantau ini bisa membangun kampung dan membahagiakan keluarganya," terang Eri.

Itulah mengapa, kata Eri, orang Minang terkenal akan jiwa berdagangnya yang mumpuni, di manapun mereka berada.

Eri menambahkan, cerita Malin Kundang menggambarkan peran ibu di balik kekuatan perekonomian masyarakat Minangkabau yang sangat terencana dan terukur.

"Legenda ini mengingatkan kita semua bahwa kemampuan yang kita miliki selagi muda tidak serta-merta terjadi begitu saja, melainkan bagian dari proses, perjuangan, dan pengorbanan orangtua," ujarnya.

Tak hanya itu, cerita ini juga berpesan, bekal yang diperoleh dari perantauan harus dibawa ke kampung, untuk membangun kampung halaman.

"Itu makanya di setiap kota, di mana pun kita berada selalu menjumpai warga Minangkabau yang kuat di sektor perekonomian," katanya.

Perekonomian yang kuat, selain didukung oleh budaya merantau, juga dipengaruhi oleh sistem kekerabatan matrilineal. Inilah, lanjutnya, yang menguatkan tali persaudaraan warga Minangkabau ketika merantau.

"Nah, pesan yang diharapkan dari legenda ini adalah, anak harus mencintai, menghormati dan berbakti kepada orangtua, sebagaimana falsafah orang Minangkabau, 'Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah," pungkasnya.

Saat ditanya terkait kebenaran batu Malin Kundang, baik Kepala Dinas Pariwisata Kota Padang, Eri Sendjaya, maupun Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, Syaifullah, tak menjawab secara tegas terkait proses pembentukan batu.

Namun, keduanya menyampakan hal serupa, yakni batu Malin Kundang sudah ada sejak dulu. Oleh karena kondisi batu yang tergerus ombak, maka dilakukanlah modifikasi dan perbaikan.

"Ada batu yang asli cuma karena terbawa ombak, arus dan abrasi, akhirnya diperbaiki, dimodifikasi dan disempurnakan agar tidak hilang bentuknya. Memang awalnya batu alam," jelas Eri.

Ia menambahkan, penyempurnaan bentuk patung dan perahu Malin Kundang pun dilakukan supaya kisah ini diingat oleh mereka yang melihat batu tersebut.

https://travel.kompas.com/read/2022/05/20/163200027/cerita-malin-kundang-dan-tradisi-merantau-laki-laki-minangkabau

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke