KOMPAS.com – Oktober mungkin jadi bulan yang tidak terlupakan bagi mereka yang terdampai erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
Dikutip dari Kompas.com (12/3/2023), Gunung Merapi mengalami erupsi besar pada Bulan Oktober 2010, tepatnya pada 26 Oktober 2010.
Letusan itu bahkan jadi yang terbesar, melampaui erupsi Merapi tahun 1872 (siklus 100 tahunan Merapi).
Akibat erupsi pada 2010, ratusan orang meninggal dunia. Salah satu korban jiwa adalah Juru Kunci Gunung Merapi saat itu, yakni Mas Penewu Suraksohargo atau Mbah Maridjan.
Erupsi besar juga menyebabkan puluhan ribu orang harus mengungsi. Saat itu, tempat pengungsian yang terbesar adalah di Stadion Maguwoharjo.
Kini, sudah 13 tahun berlalu sejak erupsi besar Merapi 2010 itu. Kondisi di wilayah terdampak memang sudah pulih. Namun, kenangannya takkan hilang.
Termasuk bagi penulis yang pada tahun 2010 masih berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mengenang malam menyeramkan saat erupsi Merapi
Kenangan menyeramkan itu makin saya rasakan saat berkunjung ke Museum Petilasan Mbah Maridjan pada Minggu (24/9/2023).
Museum ini dulu merupakan rumah Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo yang jadi salah satu daerah terdampak erupsi Merapi 2010.
Saat melihat benda koleksi di museum, mulai dari kendaraan hingga gamelan yang disapu awan panas, ingatan akan erupsi Merapi 2010 seolah muncul lagi.
Rasanya seolah belum lama, sewaktu saya pulang ke kosan pada petang hari Selasa (26/10/2023) setelah siang harinya bolak-balik menerjang abu hasil letusan Merapi, mengantar bantuan logistik ke posko pengungsian Merapi di Pakem, Kabupaten Sleman.
Kelelahan membuat saya tidur lebih awal usai shalat magrib. Namun, malam harinya saya terbangun.
Hujan pasir dan getaran
Malam itu, saya merasakan getaran. Kaca jendela memang benar begetar. Karena khawatir, saya keluar untuk mengantisipasi apabila datang gempa besar.
Saat itu, terdengar suara gemuruh seperti guntur yang cukup jelas. Saya sempat mengira langit sedang mendung. Ditambah, terdengar suara seperti rintik hujan di genteng.
Namun begitu sampai luar, saya melihat dan merasakan sendiri bahwa ini bukan hujan biasa, melainkan hujan pasir dan kerikil kecil.
Jantung seketika berdegub kencang. Saya sadar jika suara gemuruh itu bukanlah awan hujan, melainkan erupsi besar Merapi.
Saat itu, saya tinggal di daerah Banguntapan, Kabupaten Bantul yang cukup jauh dari puncak Merapi.
Saya pun bertanya-tanya, bagaimana kabar mereka yang jaraknya lebih dekat, termasuk Mbah Maridjan di rumahnya yang hanya berjarak sekitar 4,5 km dari puncak Merapi.
Kabar duka dari Kinahrejo
Keesokan harinya, tersiar kabar di berita-berita televisi yang menghiasi waktu pagi bahwa Merapi mengalami erupsi besar pada malam harinya.
Ditampilkan pula proses evakuasi masyarakat ke Stadion Maguwoharjo dengan kondisi tubuh yang penuh abu erupsi Gunung Merapi.
Tersiar pula kabar bahwa Dusun Kinahrejo, tempat tinggal Mbah Maridjan, ikut disapu awan panas.
Begitu juga dengan kabar bahwa Sang Juru Kunci Gunung Merapi, yakni Mbah Maridjan, ikut menjadi korban jiwa.
Setelah Mbah Maridjan meninggal dunia, Juru Kunci Gunung Merapi kemudian dilanjutkan anaknya, yakni Mas Asih atau Suraksohargo Asihono.
Saya baru bisa mengunjungi Dusun Kinahrejo setahun setelahnya, tepatnya pada 2 Oktober 2011.
Saat itu, museum Petilasan Mbah Maridjan masih outdoor. Hanya terdapat mobil relawan dan dua sepeda motor (yang diterjang awan panas Merapi) yang dipajang.
https://travel.kompas.com/read/2023/10/23/060600527/museum-petilasan-mbah-maridjan--malam-menyeramkan-saat-erupsi-merapi-2010