Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengalaman ke Istana Daendels di Jakarta, seperti Labirin yang Megah

JAKARTA, KOMPAS.com - Di antara tingginya pencakar langit di kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, berdiri sebuah bangunan kuno berdinding putih nan megah. Namanya Gedung A.A. Maramis.

Didirikan pada tahun 1809, bangunan ini dikenal pula sebagai Paleis van Daendels alias Istana Daendels.

Adapun Daendels merujuk pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels yang memimpin tahun 1808-1811.

Sayangnya, meski namanya Istana Daendels, pemimpin pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan itu tidak sempat menempati bangunan tersebut.

"Daendels tidak melihat (bangunan) ini jadinya seperti apa karena keburu dipanggil sama Napoleon untuk perang di Waterloo," ucap pemandu Endang Teguh Pramono saat tur "Palais Van Daendels en Omstreken" dari Eat Chat Walk x Jakarta Good Guide, Sabtu (15/6/2024).

Kicauan burung terdengar semakin jelas seiring saya mendekati Istana Daendels, Sabtu (15/6/2024) siang. Di depannya terhampar rerumputan hijau dan deretan pepohonan palem yang terawat.

Bangunan seluas sekitar 12.000 meter persegi ini lebih jelas terlihat dari sisi belakang Lapangan Banteng, tepatnya di Jalan Lapangan Banteng Timur. Bagiannya pun terdiri dari Gedung A sampai Gedung E. 

Suasana di area bangunan kontras dengan hiruk pikuk aktivitas masyarakat di Lapangan Banteng.

Terang saja, bangunan ini tidak dibuka untuk umum. Bila ingin berkunjung, kamu bisa meminta izin terlebih dahulu atau ikut kegiatan walking tour khusus, misalnya dari Eat Chat Walk x Jakarta Good Guide.

Sebelum menjelajahi bangunan, Endang berpesan agar kami tidak berpencar. Pasalnya, bagian dalam bangunan ini seperti labirin sehingga dikhawatirkan kami akan tersesat.

Pesan Endang pun benar adanya. Dari Gedung A sampai Gedung E, terdapat banyak lorong, pintu, dan ruangan yang kami jumpai. Ada yang saling bersambung, ada pula yang buntu. 

Beberapa ruangan pun sepintas terlihat mirip. Jika saya tak awas atau tak ditemani pemandu, besar kemungkinan saya akan kebingungan.

Selain itu, saya tak perlu khawatir kepanasan atau pengap karena sebagian besar ruangan di gedung ini sudah dilengkapi pendingin ruangan.

Kami mengawali dari sisi kiri, tepatnya dari Gedung A. Suasana di dalam terasa dingin dan teduh, ditambah dengan penerangan di beberapa sisi yang membuat ruangan lebih cerah dan pas untuk berfoto.

"Kalau versi menurut arsitek, namanya ini ruang prajurit. Mungkin dulu dipakai untuk senjata, tapi enggak untuk penjara fungsinya, tapi untuk merenung," kata Endang. 

Kami selanjutnya bergeser ke gedung di seberangnya, yang di terasnya ditempeli papan bertuliskan "MDCCCIX Condidit Daendels, MDCCCXXVIII Erexit Du Bus" yang artinya "1809 Dibangun (oleh) Daendels, 1828 Diselesaikan (oleh) Du Bus".

Di teras ini berdiri beberapa pilar dan atap penghubung tembus cahaya yang baru dibangun guna membantu menahan gedung lama agar tidak goyah. 

Endang menunjukkan, pilar yang baru dibangun umumnya bersuara lebih nyaring dan ringan ketika diketuk, sedangkan pilar yang lama tidak bersuara dan berkesan lebih kokoh.

Adapun gedung selanjutnya berisi ruangan-ruangan berdinding tebal yang lebih banyak karena awalnya diperuntukkan bagi ratusan kuda. 

Nantinya kuda-kuda akan masuk dari halaman depan, lalu langsung menuju ruangan-ruangan yang disediakan. 

Para peserta tur kemudian diajak naik lift ke lantai atas. Bagian ini tetap berisi beberapa ruangan yang luasnya bervariasi, serta Instagramable.

Lantai ini juga kerap dijadikan lokasi berfoto dan membuat konten berkat tampilannya yang ciamik. Saya bisa melihat pola di langit-langit dan lampu gantung yang indah, ditambah beberapa jendela dan pintu tinggi.

Salah satu hal yang saya sukai adalah, Endang memberi peserta waktu beberapa detik untuk mengeksplorasi lokasi secara mandiri, tapi tetap dalam pengawasan petugas dan dalam lingkup yang terbatas.

Saat momen eksplorasi itulah, saya menemukan ruangan lainnya yang memiliki dekorasi sejenis dan lebih sepi sehingga lebih puas dalam mengambil gambar.

Istana Daendels masih memiliki tangga dari kayu jati yang kokoh dan terawat.

Meski begitu, para peserta tetap disarankan untuk berhati-hati saat menggunakannya, atau manfaatkan tangga berwarna putih yang baru dibangun demi keamanan.

Saat berkunjung, para peserta pun tidak diizinkan naik ke bagian loteng. Salah satu alasannya adalah karena kondisinya sudah rapuh.

Ada pula jembatan penghubung dengan lantai marmer hitam dan pembatas kaca yang saya lewati.

Dari jembatan itu, saya bisa melihat pemandangan Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng dari ketinggian.

Tidak terasa sudah dua jam lebih saya menjelajahi Istana Daendels bersama peserta tur.

Menurut saya, butuh waktu lebih dari itu agar bisa menyambangi setiap ruangan yang ada di bangunan ini, sekaligus mendengarkan cerita di baliknya.

https://travel.kompas.com/read/2024/06/22/194339427/pengalaman-ke-istana-daendels-di-jakarta-seperti-labirin-yang-megah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke