Diskusi macam ini semakin membuat saya frustrasi. Tentang keacuhan orang asing yang merasa tidak diistimewakan di tempat di mana kehidupan sehari-hari pun sudah tidak ada istimewanya lagi. Tentang orang-orang beringas yang menghabiskan hari-hari tanpa arti, berkeliaran di jalanan dan di pasar. Tentang supir-supir yang sudah lama merindukan para penumpang, mangsa yang lezat disantap di tengah kelangkaan transportasi dan minyak.
Supir Kirghiz itu akhirnya melunak. Setelah negosiasi panjang selama dua hari, harga sewa jeep yang semula 300 dolar, akhirnya turun menjadi 140 dolar. Si Amerika yang kehabisan visa akhirnya menyetujui juga tawaran ini. Si supir mengajukan syarat. Dia akan membawa keluarganya ikut ke Kyrgyzstan. Saya yang ikut membantu proses tawar-menawar diijinkan menumpang gratis oleh kedua turis bule itu.
Pertama-tama kami harus menjemput bapak Si Supir dari pasar. Lama sekali menunggu Pak Tua selesai belanja. Setelah itu, kami menjemput ibunya yang sedang sibuk di rumah tetangga. Kami juga menjemput dua orang bibi yang tinggal di desa sebelah. Setelah sekitar tiga jam menunggu, keliling kanan kiri, jeep ini akhirnya berangkat juga ke arah Kyrgyzstan. Si Amerika sudah sangat tidak sabar. Berkali-kali ia melihat arlojinya. Sudah sore dan kami baru melaju beberapa kilometer saja meninggalkan Murghab. Kalau dia sampai telambat keluar dari Tajikistan, entah penjara macam apa yang akan dihuninya.
Tak sampai setengah jam, tiba-tiba mobil membelok ke arah timur. Kyrgyzstan ada di utara sana. Mengapa kami ke timur, ke arah China? Saya melihat puncak gunung Muztagh Ata, di balik perbatasan China. Puncak gunung bertudung salju ini pernah saya lihat dari Tashkurgan di China sana. Sekarang saya melihat gunung yang sama dari sisi yang berbeda.
Empat puluh kilometer ke arah timur, tiba-tiba jalan terputus. Ini adalah ujung jalan yang mungkin dicapai. Ini adalah ujung dunia. Tempat paling terpencil di sebuah negara terpencil. Song Kul, nama desa ini, terletak di kaki gunung Muztagh Ata, hanya beberapa terjangan saja ke arah perbatasan China. Mengapa kami sampai di sini?
Ternyata si supir masih harus menjemput beberapa orang bibinya yang lain lagi, ikut bersama-sama kami ke Kyrgyzstan. Saya terdesak ke tempat paling tak mengenakkan di bagasi, didesak-desakkan bersama tumpukan barang bagasi. Meringkuk. Jalan berbatu dan berdebu membuat mobil berjalan melompat-lompat. Saya ikut terlompat. Di atas terbentur atap jeep. Di depan tertumbuk tumpukan barang yang keras. Sungguh berat. Tapi, apa mau dikata, namanya juga penumpang gratisan.
Si Supir Kirghiz ini sungguh pintar. Sebenarnya, ia memang berencana pergi ke Kyrgyztan membawa semua keluarganya. Dan, dua orang bule inilah yang membayar ongkosnya. Saya lihat mereka pun mendapat tempat duduk yang tidak nyaman, meringkuk di bangku tengah diapit bibi-bibi Si Supir yang gendut-gendut. 140 dolar AS untuk dua bangku sempit. Dua turis bule itu membayar empat kali lipat lebih mahal dari harga seharusnya.
Mobil menyusuri jalan berbatu dan berdebu yang sama, ke arah barat, kembali ke jalan raya Pamir Highway. Di sinilah bayangan akan dunia paralel dimulai. Sepanjang jalan ke utara, ke arah Kyrgyzstan, tiang-tiang kayu berpagar kawat berjajar di sisi kanan jalan. Di belakang pagar itu tidak ada apa-apa selain barisan gunung batu.
"Apa itu di balik pagar?" saya bertanya.
"Itu China. Ini adalah perbatasan China," kata Si Israel sok tahu.
"Tetapi saya tidak melihat apa-apa di sana," saya masih tidak percaya China ada di belakang pagar-pagar kawat dan kayu itu.
"Di sini yang tidak ada apa-apanya. Di sana itu adalah superpower dunia!"
Di belakang pagar kayu sederhana itu memang bukan China. Mana mungkin negara macam China punya perbatasan yang sangat bocor seperti ini. Apalagi pagar-pagar kayu itu kadang jaraknya hanya lima meter dari tepi jalan. China masih 15 kilometer jauhnya dari pagar ini. Pagar-pagar ini didirikan untuk memisahkan jalan raya dari daerah sensitif perbatasan Tajikistan. Di belakang pagar, tentu saja masih Tajikistan yang itu-itu juga. Daerah perbatasan ini sangat sensitif, karena merupakan garis batas tiga negara – Tajikistan, Kyrgyzstan, dan China. Selain itu, China berusaha mengklaim 20 persen wilayah perbatasan GBAO, yang kebetulan mengandung emas.
Saya yang sudah hampir pingsan berlompat-lompat sambil meringkuk di tengah tumpukan barang bagasi, sudah tidak kuat lagi meneruskan perjalanan ke Kyrgyzstan. Saya memutuskan turun di Karakul, danau raksasa yang menawarkan satu nama: kematian.
(Bersambung)