Bekbolot, pelajar muda yang saya temui di jalan, malah mengajak saya menginap di rumahnya daripada menunggu di luar seperti ini. Saya semula tidak setuju, tetapi Bekbolot kemudian memberikan nomer telepon rumahnya kepada gadis itu dan meninggalkan pesan untuk disampaikan pada Satina.
Saya mengikuti Bekbolot, melintasi taman desa Toktogul yang terkenal angker waktu malam, penuh dengan pemabuk. Kalau bukan karena ada Bekbolot, tentu saya tak berani lewat sini.
Keesokan paginya, saya kembali lagi ke rumah Satina. Wanita bersanggul dan berjaket coklat itu sudah menunggu di depan pintu pekarangannya.
"Avgustin!!!!!!!" teriak Satina penuh gembira ketika melihat bayang-bayang saya membelok dari ujung jalan. Dia memeluk saya, mengajak saya masuk, dan menyiapkan teh hangat.
"Saya kemarin malam sekali baru pulang," katanya dengan bahasa Inggrisnya yang khas, "Jam 11. Saya coba telepon nomer yang dititipkan, berkali-kali, tetapi sepertinya telepon di situ rusak. Saya khawatir sekali. Kemarin malam, ketika saya pulang, saya mabuk berat. Saya tak ingat apa-apa lagi. Keponakan saya bilang, gara-gara menelepon kamu, saya menangis habis-habisan sepanjang malam. Tetapi saya tidak ingat apa-apa sama sekali."
Satina masih mengenali saya seperti dua tahun silam.
"Kamu tak berubah!" katanya tersenyum, menghias gurat-gurat wajahnya. Bahkan tetangga-tetangga Satina pun masih ingat saya. Dua tahun lalu, saya datang dengan celana sedengkul dari Indonesia. Orang-orang di sini mengira saya pakai rok. Saya sendiri sudah lupa kalau bukan Satina yang mengingatkan kejadian lucu itu.
"Kepala saya masih sakit," kata Satina, "gara-gara mabuk kemarin. Saya minum terlalu banyak. Tetapi sekarang saya mesti mengajar. Tetapi ada sukarelawan yang menggantikan saya untuk jam pertama, karena saya sudah minta izin tidak mengajar pagi hari untuk menunggu kamu. Kamu sekarang mau istirahat dulu atau ikut saya ke mengajar?"
Saya dengan semangat berangkat ke sekolah bersama Satina, seperti anak kecil yang bergembira di hari pertama masuk sekolah.