Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (94)

Kompas.com - 15/07/2008, 07:19 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Kembali ke Dunia Normal

Eksodus. Lima hari di negeri yang penuh keanehan dan keajaiban sudah lebih dari cukup untuk mendorong setiap bintik sel dalam tubuh saya menggelegak, tak sabar lagi untuk kembali ke dunia normal.

Ruhnama memang punya gaya gravitasi yang tiada duanya. Para penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya, orang asing dari negeri seberang yang begitu khusyuk membaca Ruhnama. Ada yang antusias melantunkan lagu kebangsaan Turkmenistan, “Ciptaan agung Sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya...”

Saya jadi akrab dengan Kalkali, seorang tentara muda berumur 20 tahun. Dia adalah minoritas etnik Azeri, wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, mata lebarnya hitam pekat, dan perawakannya sangat gagah perkasa. Orang-orang Azeri, pemilik negara Azerbaijan di seberang Laut Kaspia sana, adalah salah satu kaum minoritas terbesar di Turkmenistan. Kalkali bukan orang Turkmen biasa, dunianya bukan cuma Ruhnama. Dia sudah pergi ke Kyrgyzstan, Uzbekistan, India, Sri Lanka, sebagai atlet sepak bola nasional.

          “Saya juga sudah melihat dunia,” katanya bangga.

Sekarang Kalkali jadi tentara. Semua pria Turkmen harus menjalani wajib militer selama dua tahun. Tentang kehidupannya sebagai tentara, Kalkali cuma bilang lumayan dan tidak terlalu buruk. Gajinya 5 dolar per bulan. Masih jauh lebih bagus daripada tentara wamil di Tajikistan yang cuma diupah 1 hingga 2 dolar saja.

          “Jangan lupa,” seru Kalkali, “kalau ke Ashgabat lagi mampir ke rumah saya. Nanti kamu lihat bayi saya yang lucu.”

Dia menghilang dalam kegelapan malam. Lampu kereta mati total. Yang ada cuma pekatnya gulita bersama raungan kereta dan hembusan nafas penumpang-penumpang yang duduk pasrah.

Kereta lambat ini merayap lambat-lambat. Saya terpaku di papan bangku kayu keras, terhimpit dan terdempet. Seorang pria dengan lugunya tertidur pulas dalam rangkulan saya. Saya terpaksa merangkulnya karena sudah tidak ada tempat lagi untuk menaruh lengan. Bangku keras ini sekarang sudah diduduki lima penumpang. Sedangkan di sekitar lubang hidung saya bertebar aroma busuk kaus kaki penumpang yang tanpa sadar diri mengumbar kakinya di depan wajah mungil saya. Dalam kegelapan ini, orang bisa tidur dalam segala macam posisi yang mustahil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com