Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (14): Altar Mao Zedong

Kompas.com - 21/08/2008, 06:56 WIB

Tak percaya menumpang truk itu susahnya setengah mati? Di Barga sudah ada seorang turis Hong Kong yang menginap dua hari, rambut sudah acak-acakan dan wajahnya kusut. Tak ada satu pun mobil yang lewat menuju Lhasa. Chung Manfai namanya, dahinya memantulkan sinar matahari yang terik.

          “Hao nan o... Sangat susah... tak ada kendaraan sama sekali...,” katanya dalam bahasa Mandarin yang parah logatnya.

Saya memahami kejenuhannya. Tinggal sehari semalam di tempat seperti ini tentu membosankan. Selain rumah-rumah sederhana dan meja biliar di pinggir jalan, penduduk desa pun nyaris tak ada yang bisa bahasa Mandarin. Bahasa Tibet yang menggumam naik turun seperti mantra sama sekali tak dipahaminya. Selain kamera, buku, dan bocah-bocah yang ribut kegirangan, tak ada lagi hiburan lain.

Tiba-tiba debu mengepul dari arah Darchen. Suara truk bergemuruh. Asap hitam membungkus. Saya bangkit, merapikan kembali ransel untuk siap berangkat.

          “Jangan keburu senang dulu,” kata Paopao. Itu truk orang desa. Tak mungkin pergi jauh dari sini.

Benar saja. Yang datang adalah truk penuh perabotan rumah tangga. Di atas lemari, meja, kursi, kompor, cerobong penuh jelaga, wajan, panci, semua ditumpuk di atas bak terbuka, duduk beberapa wanita Tibet berambut panjang berkepang dua, diikat jadi satu di bawah pinggang. Mereka berjubah panjang dengan pakaian penuh manik-manik. Ada pula anak kecil bertopi jiefangjun - tentara pembebasan komunis China. Kalau bukan karena truk yang bermesin butut, semua pemandangan ini ditambah dengan debu dan rumah lempung Barga pastilah pemandangan yang sama dengan zaman enam puluh tahun lalu.

          “Tibet tak banyak berubah,” kata Paopao.

Orang di sini hidup dalam dunianya sendiri. Mereka tak memikirkan sekolah, karir, tabungan, masa depan, investasi, dan segala beban dunia lain yang menindih pundak kita. Mereka hidup hanya untuk berbakti, bertakwa, bersembahyang, mengitari Gunung Dewa dan Danau Suci, melakukan perjalanan ziarah panjang sampai ke Lhasa dengan jalan kaki atau merangkak.

Tetapi siapa bilang tak ada yang berubah? Sejak pemerintah komunis China masuk sini, berapa ribu kilometer jalan beraspal dibangun, sampai Ali yang terpencil pun kini sedang sibuk membikin lapangan terbang? Saya teringat di sebuah puncak gunung Kunlun, di perkampungan mungil terpencil di salah satu tempat terliar untuk ditinggali manusia, ada sekolah reyot yang temboknya bertulis slogan-slogan mengagungkan Mao Zedong. Saya teringat mars komunis Hong Taiyang, Matahari Merah - pujian bagi Mao yang laksana mentari yang tak pernah padam di hati rakyat - bergema dari loudspeaker ringsek di sudut Darchen, beriringan dengan alunan mantra tanpa henti Om Mani Padme Hum.

Saya terhenyak menyaksikan altar keluarga Tibet di pinggir jalan berdebu Barga. Di pelosok Tibet ini foto Mao Zedong diletakkan di altar keluarga yang paling terhormat, bersama-sama dengan gambar Avalokitteshvara - Dewi Kwan Im, patung Budha Sakyamuni, lukisan suci Gunung Kailash dan Danau Manasarovar. Di hadapannya, ada barisan cawan sembahyang berisi lampu mentega. Air suci dipersembahkan, api suci dinyalakan, doa dilantunkan. Adakah tempat lainnya di Republik Rakyat China yang mengagungkan pemimpin besar komunis ini layaknya bodhisatva atau nabi?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com