Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aris, Merangkul Pelukis Jalanan di Kota Tua

Kompas.com - 23/01/2009, 22:28 WIB

Keinginannya untuk berpameran terwujud saat ada kesempatan menggelar pameran bagi seniman jalanan Kota Tua yang saat itu tergabung dalam paguyuban Kelompok Pintu Besar Selatan. Ajakan berpameran lukisan potret pertama datang dari Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan Kota pada 1996.

Kesempatan tersebut mampu membangkitkan optimisme komunitas pelukis jalanan. Tawaran pameran lalu berdatangan dari hotel dan mal di Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah, dan Taman Ismail Marzuki. Pameran mereka ada yang disponsori pihak lain, tetapi sering pula para seniman ini saweran untuk menyewa stan pameran.

Dengan merogoh kocek sendiri juga, ia mengadakan reuni para pelukis jalanan yang pernah mangkal di trotoar Jalan Pintu Besar Selatan. Sebanyak 60 seniman jalanan pun meramaikan acara yang digelar untuk membangun tali silaturahim kembali di antara mereka.

”Saya ingin para seniman jalanan itu bisa saling memberi semangat. Mereka yang merasa belum sukses tidak patah semangat, sedangkan mereka yang sudah berhasil tetap mau bergabung. Ini supaya para pelukis jalanan itu bisa saling melengkapi kelemahan dan kelebihan masing-masing. Dari sini diharapkan bakal lahir seniman yang berkualitas,” ujar Aris yang sebelum merantau ke Jakarta mendalami seni ukir.

Dia tidak ingin pelukis potret jalanan terjebak sebagai seniman yang berkarya saat ada pesanan saja. Pria asal Kudus, Jawa Tengah, ini menggugah rekan-rekannya untuk sadar berkesenian.

Sebab, dengan mendalami seni akan mengasah hati nurani dan mampu memotret keadaan di sekeliling atau peristiwa yang mereka lihat. Bekal itu akan membuat mereka bisa menuangkannya dalam bentuk karya seni yang punya ”kedalaman”.

”Respons terhadap apa yang ada dalam pikiran saya amat beragam. Ada orang yang sinis, ada pula yang mendukung. Itu lumrah saja. Kalau enggak seperti itu, enggak ada warna- warna yang menarik dari sebuah karya,” ujarnya enteng.

Tak sanggup

Ketika Aris terlihat tidak sanggup mengikuti pendidikan lebih tinggi usai menyelesaikan SD, sang ayah mengirimkan dia untuk belajar seni ukir di Jepara, Jateng. Setelah itu, dia sempat bekerja selama beberapa waktu di perusahaan furnitur sebagai tukang ukir.

Beberapa tahun kemudian, Aris memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Dia ingin memperdalam keahlian ukirnya dengan mendatangi sanggar-sanggar ukir di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Namun, saat itu dia harus puas hanya diberi tugas sebagai tukang ampelas.

Tidak puas, Aris lalu mencoba mencari pekerjaan lain. Ketika dia melintas di daerah Melawai, Jakarta Selatan, Aris melihat seorang pria lumpuh yang melukis potret di trotoar. Peristiwa itu menginspirasinya untuk juga menjadi pelukis potret.

Dari pengembaraannya, ia mendapati di kawasan Kota Tua hanya ada dua pelukis jalanan. Aris lalu bergabung dan mengembangkan komunitas pelukis potret jalanan di Kota Tua.

”Keinginan saya hanyalah agar seniman jalanan ini diberi tempat yang layak untuk menggelar karya mereka,” katanya lagi mengulang dan menegaskan.(IWAN SANTOSA/ BRIGITA MARIA LUKITA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com