Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (132): Losmen Murah di Rawalpindi

Kompas.com - 04/02/2009, 08:12 WIB

Berkeliling kota sepanjang hari jadi salesman benar-benar membuat tubuh saya yang sudah lelah menjadi lelah. Saya sudah nyaris tertidur ketika kedua kawan baru ini mentraktir saya chicken qorma, sejenis kari ayam yang dimakan dengan roti tipis, di warung sederhana yang letaknya di lantai dasar hotel kami. Tetapi karena makanan ini benar-benar lezat, saya jadi bersemangat lagi.

Warung ini ramai penuh pengunjung. Kami mengambil tempat satu meja. Di atas meja ada satu pot air berisi air dingin dan satu gelas kaleng. Semua orang minum dari gelas yang sama. Bersama qorma, kami mendapat piring berisi lima tumpuk chapati – roti kering tipis berwarna putih yang menjadi makanan pokok di sini. Kami menyobek chapati dari piring yang sama, dicocolkan ke arah piring berisi qorma di tengah, dan langsung dimasukkan ke mulut. Tak perlu piring masing-masing di sini. Semua orang makan dari piring yang sama, sebuah lambang kebersamaan dan persahabatan.

Jangan salah, lima lembar chapati itu cuma butuh waktu tiga menit saja untuk disantap habis. Pelayan yang jeli, begitu melihat hanya tersisa separuh chapati di atas piring, langsung melemparkan tiga lembar chapati baru. Intinya, piring chapati kami tak pernah kosong dan kami tak pernah sampai makan roti yang sudah dingin.

Saya senang sekali mendapat kawan baru di sini. Kedua pemuda itu juga minta difoto. Saya turuti. Tiba-tiba dari belakang ada pria tua mentowel saya, ingin difoto juga. Saya potret juga. Saya tunjukkan hasil fotonya yang terpampang pada kamera digital saya. Tiba-tiba, ia langsung merampas kamera saya. Caranya memegang barang kecil itu kasar sekali. Baginya tak ada bedanya apa itu lensa, flash, atau body.

Kawan-kawan yang duduk bersama orang tua itu merayunya untuk mengembalikan kamera itu kepada saya. Tetapi pria tua itu semakin hilang akal. Gerakannya ingin membanting kamera saya. Dia bahkan menelan bulat-bulat rokoknya yang masih menyala. Orang sintingkah?

          “Uncle...uncle..., ini punya orang asing. Orang asing itu adalah tamu, kawan kita....” seorang kawannya memelas. Suno dan Faryad langsung minta bantuan pelayan. Tetapi tidak ada yang mau ikut campur. Takut.

Kawan-kawan lelaki tua itu terus merayu. Memohon. Menciumi. Mencoba mengalihkan perhatiannya. Segala upaya dilakukan, sampai ketika akhirnya si pria tua itu dibuat melihat ke jalan, dan ketika perhatiannya lengah, kamera itu langsung direbut dari tangannya. Saya menerima kembali barang saya, masih bekerja sempurna.

Teman-teman kakek tua itu minta maaf atas kejadian yang tidak mengenakkan ini. Seorang dari mereka mencium saya. Bau alkohol yang sangat kuat tercium, membuat saya ingin muntah.

Bagi saya masalah selesai di sini. Tetapi tidak dengan Suno. Ia langsung melabrak resepsionis hotel yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Sungguh saya tidak ingin bermusuhan dengan pihak hotel. Namun insiden adu mulut antara pihak hotel dan Suno memaksa saya berpikir mencari tempat penginapan baru.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com