Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekapur Sirih, Sebuah Kekayaan Kuliner

Kompas.com - 06/02/2009, 01:43 WIB

Ny Sembiring tampak bangga mempertontonkan diri saat ia mengunyah sirih berikut campurannya. Ia yang menjual bahan-bahan untuk makan sirih, mulai dari sirih, kapur, gambir, tembakau, hingga pinang, masih mempertahankan makan tradisi sirih.

"Anak-anak muda di sini juga masih makan sirih. Kami biasa makan sirih saat santai,” kata Ny Sembiring yang berjualan di Pasar Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang ditemui beberapa waktu lalu. Meski kadang masih menggunakan berbagai alat tradisional untuk mempersiapkan perlengkapannya, kini campuran kapur, gambir, dan pinang sudah ada yang ”instan”.

Campuran instan dibuat dengan melumatkan berbagai bahan itu dengan cara ditumbuk. Hasil tumbukan dimasukkan ke dalam botol plastik yang mirip untuk tempat kecap dan saus. Bila ia akan mengunyah sirih, botol itu tinggal dipencet ke daun sirih. Setelah itu, dimasukkan ke mulut dan langsung dikunyah.

Makan sirih sangat boleh jadi bisa dimasukkan ke dalam seni kuliner. Makan sirih menjadi ”makanan ringan” yang bisa ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai variasi.

Tradisi makan sirih memiliki riwayat yang sangat panjang. Penelitian beberapa ahli menyebutkan, makan sirih sudah ada sejak zaman batu terakhir (neolitik). Kebiasaan ini diduga dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang dari India. Ada pula yang menduga kebiasaan itu berasal dari China.

Akan tetapi, masuknya tembakau dalam campuran tradisi makan sirih perlu diteliti lebih lanjut. Tembakau yang berasal dari Amerika Latin baru masuk ke Nusantara setelah dibawa masuk oleh Belanda. Sangat boleh jadi ada bahan lain sebelum tembakau digunakan. Di Nusantara, kebiasaan makan sirih mengalami modifikasi sesuai dengan daerah masing-masing. Tradisi ini menjangkau mulai dari kalangan biasa alias rakyat jelata hingga bangsawan.

Di sejumlah pasar di Sumatera Utara dan Aceh masih ditemukan alat-alat makan sirih yang tergolong kuno. Di pasar kota Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Nanggroe Aceh Darussalam, Kompas masih menemukan seperangkat alat makan sirih atau tepak sirih tradisional. Perangkat makan sirih ini terbuat dari kuningan.

Setidaknya alat-alat untuk makan sirih terdiri atas combol atau cembul yang digunakan untuk menyimpan ramuan sirih. Kemudian, ada combol kecil berjumlah empat hingga lima buah untuk menyimpan berbagai makanan makan sirih. Ada pula kacip untuk memotong pinang, gobek untuk melumatkan campuran, tempat sirih, dan tempat untuk meludah.

Tempat sirih ini sangat bervariasi. Setidaknya Kompas menemukan sepuluh macam tempat makan sirih. Akan tetapi, Perpustakaan Negara Malaysia mengoleksi sekitar 40 gambar tempat makan sirih. Koleksi perpustakaan ini mungkin yang terlengkap karena dari bahannya bervariasi, mulai dari kuningan hingga emas, dari bahan kayu hingga kain, dan dari yang tak bermotif hingga bermotif rumit.

Meski demikian, kalau kita mau mengumpulkan berbagai jenis tempat sirih itu, sebenarnya kita memiliki kekayaan tiada tara. Kita bisa menemukan berbagai tempat sirih, mulai dari Aceh, Medan, Palembang, Jawa, Makassar, hingga di Kupang. Namun, untuk mengurus yang seperti ini kita kurang peduli.

Kolektor asal Semarang, Handoko, mengoleksi berbagai tempat makan sirih. Salah satunya ia mengoleksi tempat sirih yang kebanyakan bermotif campuran China, Jawa, dan Belanda. Tidak sedikit orang asing yang meminati berbagai koleksi yang sudah tergolong langka ini.

”Koleksi saya dibuat pada zaman Belanda. Tempat sirih dengan motif campuran itu biasa dipakai orang kaya,” kata Handoko. Rakyat kebanyakan biasa menyimpan sirih dan perlengkapannya di kota kayu biasa. Ia menduga, kebiasaan makan sirih berasal dari China yang dibawa masuk ke Nusantara, seperti dalam kebiasaan merokok yang berawal dari kebiasaan mengisap candu di China.

Bila kemudian makan sirih digolongkan kekayaan kuliner, hal ini mungkin agak membingungkan. Akan tetapi, setidaknya ”makanan ringan” ini memberi kepuasan bagi mereka yang mengonsumsinya. Rasa sepat yang muncul mempunyai sensasi tersendiri. Di dalam kitab Serat Centhini, sirih biasanya dimakan setelah makan besar. Meski padanannya tidak tepat, makan sirih mungkin mirip mengunyah permen karet dalam kebiasaan orang Barat.

Lebih dari itu, kekayaan kuliner ini harus dimaknai bukan hanya makan yang berarti mengenyangkan perut atau membuat kita ”mak nyus”. Bila kita memburu sensasi itu, dari kuliner yang satu ini kita tidak akan mendapatkannya. Kita hanya akan mendapat rasa sepat itu dan kadang malah membuat kita mual-mual dan pening.

Kekayaan kuliner ini harus dimaknai dalam konteks budaya. Makan sirih harus dilihat sebagai ungkapan persahabatan. Dalam hal ini, masyarakat yang masih meneruskan tradisi makan sirih akan menghargai dan menerima masuk para pendatang bila mereka yang datang ke rumah penduduk setempat mau makan sirih.

Setidaknya hal itu dialami arkeolog Universitas Gadjah Mada, Jajang Agus Sonjaya, yang meneliti selama dua tahun di Desa Boronadu di Pulau Nias, Sumatera Utara. Pengalaman yang kemudian dibukukan dengan judul Melacak Batu Menguak Mitos, Petualangan Antarbudaya di Nias dikisahkan di Universitas Negeri Medan beberapa waktu lalu. Ia mencatat pentingnya seseorang untuk makan sirih sebelum bergabung dengan warga setempat.

Kunci Jajang memasuki dunia warga Desa Boronadu adalah kapur sirih itu. Tahap pertama diterima atau tidaknya pendatang ke dalam kehidupan warga desa tersebut adalah acara makan sirih itu.

”Kebimbangan serta-merta hilang ketika sirih pertama masuk ke dalam mulut saya. Kepala sedikit pening karena belum biasa, tetapi hati begitu senang. Ekspresi orang Nias sungguh luar biasa ketika melihat saya makan sirih. Mereka tampak senang dan dihargai. Meski pahit, saya bilang manis, sampai-sampai gusi saya bengkak,” kata Jajang. Di mata warga Boronadu, setelah ia makan sirih, ia dianggap bukan orang asing lagi.

Penerimaan ini langsung membuyarkan anggapan, pikiran, dan ketakutan yang sempat hadir di benaknya sebelum memasuki kehidupan Desa Boronadu. Sebelumnya ia telah mendapat kabar, kematian seorang peneliti yang pernah datang ke tempat itu karena dianggap tidak menghormati warga setempat. Keraguan tersebut hilang dengan kapur sirih itu tadi.

Makan sirih dalam konteks budaya memang memiliki arti yang mendalam, bukan soal kenyang. Setidaknya hal itu diungkapkan dalam berbagai bahan dalam makan sirih. Di berbagai literatur disebutkan sejumlah makna dari sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau.

Di dalam sebuah situs disebutkan, sirih mempunyai makna merendahkan diri dan senantiasa memuliakan orang lain. Kapur yang putih melambangkan sifat yang tulus dan bersih. Gambir melambangkan keteguhan hati, pinang melambangkan sifat keturunan yang berbudi baik dan bersedia menyelesaikan masalah secara terbuka, serta tembakau melambangkan tabah dan bersedia berkurban. Semua sifat itu berasal dari sifat-sifat yang tertangkap dari tanaman dan kapur tersebut.

Dengan melihat konteks itu, kekayaan kuliner kita harus makin dimaknai dalam kerangka kebudayaan. Kuliner kita tidak hanya persoalan mengenyangkan dan memuaskan, tetapi juga memiliki makna yang sangat mendalam dari setiap menu yang disajikan.

Saatnya kita kembali memopulerkan kekayaan kuliner Nusantara, sekaligus menempelkan berbagai makna dalam setiap menu makanan yang ada agar kita tidak kembali kecolongan dengan negara tetangga. Sekapur sirih merupakan kekayaan kuliner Nusantara. (ANDREAS MARYOTO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jogging with View di Waduk Tandon Wonogiri yang Berlatar Perbukitan

Jogging with View di Waduk Tandon Wonogiri yang Berlatar Perbukitan

Jalan Jalan
7 Tips Berkemah di Pantai agar Tidak Kepanasan, Jangan Pakai Tenda di Gunung

7 Tips Berkemah di Pantai agar Tidak Kepanasan, Jangan Pakai Tenda di Gunung

Travel Tips
Berlibur ke Bangkok, Pilih Musim Terbaik untuk Perjalanan Anda

Berlibur ke Bangkok, Pilih Musim Terbaik untuk Perjalanan Anda

Travel Tips
Cuaca Panas Ekstrem, Thailand Siapkan Wisata Pagi dan Malam

Cuaca Panas Ekstrem, Thailand Siapkan Wisata Pagi dan Malam

Travel Update
Pantai Kembar Terpadu di Kebumen, Tempat Wisata Edukasi Konservasi Penyu Tanpa Biaya Masuk

Pantai Kembar Terpadu di Kebumen, Tempat Wisata Edukasi Konservasi Penyu Tanpa Biaya Masuk

Travel Update
Siaga Suhu Panas, Petugas Patroli di Pantai Bangka Belitung

Siaga Suhu Panas, Petugas Patroli di Pantai Bangka Belitung

Travel Update
Cara ke Museum Batik Indonesia Naik Transjakarta dan LRT

Cara ke Museum Batik Indonesia Naik Transjakarta dan LRT

Travel Tips
Layanan Shower and Locker Dekat Malioboro, Personelnya Bakal Ditambah Saat 'Long Weekend'

Layanan Shower and Locker Dekat Malioboro, Personelnya Bakal Ditambah Saat "Long Weekend"

Travel Update
Museum Batik Indonesia: Lokasi, Jam Buka, dan Harga Tiket Masuk 2024

Museum Batik Indonesia: Lokasi, Jam Buka, dan Harga Tiket Masuk 2024

Hotel Story
3 Destinasi Wisata Unggulan Arab Saudi, Kunjungi Museum Bersejarah

3 Destinasi Wisata Unggulan Arab Saudi, Kunjungi Museum Bersejarah

Travel Tips
Mengenal Subak Jatiluwih yang Akan Dikunjungi Delegasi World Water Forum 

Mengenal Subak Jatiluwih yang Akan Dikunjungi Delegasi World Water Forum 

Jalan Jalan
Area Baduy Dalam Buka Lagi untuk Wisatawan Setalah Perayaan Kawalu 

Area Baduy Dalam Buka Lagi untuk Wisatawan Setalah Perayaan Kawalu 

Travel Update
5 Wisata di Bandung Barat, Ada Danau hingga Bukit

5 Wisata di Bandung Barat, Ada Danau hingga Bukit

Jalan Jalan
Aktivitas Bandara Sam Ratulangi Kembali Normal Usai Erupsi Gunung Ruang 

Aktivitas Bandara Sam Ratulangi Kembali Normal Usai Erupsi Gunung Ruang 

Travel Update
5 Cara Motret Sunset dengan Menggunakan HP

5 Cara Motret Sunset dengan Menggunakan HP

Travel Tips
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com