Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (135): Bukan Hari Valentine Biasa

Kompas.com - 09/02/2009, 07:59 WIB

“Bush anjing... Bush anjing...” para demonstran itu berteriak-teriak berirama. Mereka membawa tongkat. Juga boneka yang dinamai Bush, walaupun sama sekali tidak mirip. Pria-pria itu kemudian memukuli boneka itu dengan sepenuh tenaga. “Bush kutta... Bush kutta... Bush anjing! Bush anjing!” demikian teriakan tanpa henti mengiring pidato pembakar semangat dari corong loudspeaker.

Melihat seorang asing asyik memotret, para demonstran ini semakin liar. Mereka memukul boneka semakin keras, berteriak semakin nyaring, berlarian semakin kencang. Saya terjebak dalam euforia kemarahan dan luapan emosi yang sepertinya sudah terlalu lama tertekan.

Matahari mulai tinggi, memancarkan terik yang semakin membakar amarah. Asap mengepul di mana-mana. Demonstran bukan lagi sibuk mulutnya, tetapi juga sudah gatal tangannya. Ban mobil dibakar. Kertas dibakar. Bendera Denmark dan Amerika dibakar.

Lapangan Data Darbar sudah penuh sesak oleh lautan laki-laki. Perempuan, yang memang sudah termasuk makhluk langka di jalanan Pakistan, semakin menghilang dalam situasi kacau seperti ini. Aroma kemarahan terus dikobarkan oleh seorang pembicara yang penuh emosi di atas panggung sana.

“Bush kutta! Amerika kutta! Denmark kutta! Israel kutta!” ribuan orang ini serempak menggemuruhkan hujatan-hujatan. Semua dianjingkan. Bahkan anjing sungguhan pun ikut dilibatkan dalam luapan kemarahan ini. Seekor anjing putih diarak ramai-ramai, digantungi kertas karton bertulis ‘BUSH’, dipukuli sampai hilang kesadarannya.

Pria-pria ini sudah semakin beringas. “Bush kutta! Musharraf kutti!” Bush anjing, dan Musharraf betinanya. Bush dan Musharraf, atau lebih dikenal sebagai pasangan Bush-Mush, adalah puncak kejengkelan orang-orang ini. Kasus kartun Denmark hanyalah katalis meledakkan semua kebencian kepada pemerintah, Amerika, Yahudi, kemiskinan, keterkekangan, kerendahdirian, keterbelakangan. Semuanya, semuanya, meledak bersama-sama seperti bisul yang sudah membusuk.

Saya merasa keadaan semakin tak menguntungkan, ketika orang-orang yang mengamuk itu mengalihkan pandangan ke arah saya. “Chini! Chini! Cina! Cina!” Saya mencoba menjelaskan bahwa saya bukan orang Tiongkok. Tetapi suara saya tenggelam dalam gemuruh yel-yel yang terus berkumandang. Beberapa orang memaksa saya untuk ikut berteriak, “Bush kutta! Bush kutta!”

Tiba-tiba, massa mengerumuni saya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya seorang dengan nada kasar, berusaha merampas kamera saya. Semakin banyak yang datang. Mereka semua berteriak-teriak ke arah saya, dalam serempak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya pening. Ada yang mencekal pundak saya. Yang lain lagi malah mengambil kesempatan melakukan hobi tak senonoh, meremas-remas bagian belakang saya.

Saya takut. Bingung. Dalam kekacauan ini saya malah seorang diri, tak berdaya. Saya terjebak dalam kerumunan orang-orang berjubah yang sudah dibungkus keberingasan. Ini bukan Pakistan yang saya kenal. Ini bukan hari Valentine yang penuh kasih sayang.

 

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com