Sementara saya ingat Gul Muhammad, tukang masak, yang dulu pernah kerja di Yunani. Juga ada Aslam Sahab, atau Pak Aslam, yang mengaku berasal dari Yugoslavia. Saya tidak percaya, apalagi gaya bicaranya tidak pernah serius. Ia bahkan tidak tahu nama ibu kota Yugoslavia. Aslam Sahab bertumbuh bundar, berwajah juga bundar dan sedikit botak. Orang-orang memanggilnya ‘Mao Tsetung’.
Dengan sedemikian banyak kawan baru yang ramah-ramah, saya begitu senang. Di sini tak ada listrik. Malam gelap gulita. Hanya ada cahaya bintang, lilin, dan lampu minyak. Tetapi suasana persahabatan adalah cahaya yang tiada bandingnya.
Hujan masih terus turun, ketika saya berusaha memejamkan mata di balik selimut tebal. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. “Apa itu?” saya tersontak. “Itu adalah bunyi tanah longsor,” kata Aslam.
Entah desa yang mana lagi yang menjadi korban sekarang. Gemuruh bunyi tanah longsor sambung menyambung sepanjang malam. Saya masih selalu terloncat takut mendengarnya. Tetapi akhirnya saya terlelap juga.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!