Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daya Magis Watu Pinawetengan

Kompas.com - 25/04/2009, 08:05 WIB

KOMPAS.com - Sekitar satu jam perjalanan menggunakan mobil telah ditempuh dari kota Manado. Sepanjang jalan, dari Kawangkoan terlihat hamparan sawah apalagi saat memasuki Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso di lereng Gunung Soputan, Kabupaten Minahasa itu. Rumah panggung khas Minahasa milik penduduk sekitar tertata rapi di kanan kiri jalan desa yang hanya cukup untuk berpapasan dua mobil.

Jalan menuju obyek wisata Watu Pinawetengan memang beraspal tetapi banyak sekali lubang dan di beberapa ruas jalan banyak kerusakan. Jangan heran pula bila di jalan sempit beraspal itu akan berpapasan dengan gerobak sapi yang mengangkut rumput atau dengan segerombolan kuda yang pulang merumput. Selain itu, penduduk sekitar desa pun cukup ramah untuk ditanyai jalan, karena setelah papan penunjuk jalan di dekat Kawangkoan, tak ada petunjuk lain.

Setelah melewati hamparan sawah dan ladang, akhirnya terlihat juga bangunan seperti rumah dengan atap putih dan lambang burung hantu berwarna kuning. Tiang berwarna merah berjumlah sembilan dan di bawahnya terdapat batu dengan panjang 4 meter dan tinggi 2 meter.

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, bentuk batu ini seperti orang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, bentuk batu ini juga seperti peta pulau Minahasa. Batu ini menurut para arkeolog, dipakai oleh nenek moyang orang Minahasa untuk berunding. Maka tak heran, namanya menjadi Watu Pinawetengan yang artinya Batu Tempat Pembagian.

Di tempat inilah, sekitar 1000 SM terjadi pembagian sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selain membagi wilayah, para tetua suku-suku tersebut juga menjadikan tempat ini untuk berunding mengenai semua masalah yang dihadapi.

Goresan-goresan di batu tersebut membentuk berbagai motif dan dipercayai sebagai hasil perundingan suku-suku itu. Motifnya ada yang berbentuk gambar manusia, gambar seperti alat kemaluan laki-laki dan perempuan, motif daun dan kumpulan garis yang tak beraturan tanpa makna.

Bongkahan batu besar alamiah ini ternyata juga menyimpan sisi magis religius. Tak jarang banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang untuk berziarah mengajukan permohonan melalui ritual-ritual tertentu yang dipercaya.

Menurut juru kunci Watu Pinawetengan, Ari (48), banyak turis mancanegara yang berziarah di tempat ini, biasanya dari Belanda, Jerman, Australia dan Inggris. "Mereka yang kemari biasanya punya permohonan masing-masing dan batu ini dipakai sebagai sarana untuk mendekat pada Sang Pencipta," ujar Ari.

Diakuinya, seperti kisah salah satu turis dari Belanda, Jacob Rygeesberg, yang menderita lumpuh dan dibawa ke tempat ini dengan tongkat. Lalu dia bertekad setelah melihat batu ini, maka ia akan berjalan. "Memang saat itu, perlahan dia melempar tongkatnya dan berjalan tertatih hingga akhirnya benar-benar berjalan normal," kata pria yang tinggal di samping bangunan Watu Pinawetengan itu.

Beberapa kejadian aneh, menurutnya, juga sering terjadi di tempat ini seperti orang terlempar keluar area, mobil berjalan sendiri, ada yang memukul dari belakang. "Biasanya kalau kejadian seperti itu karena yang berkunjung sudah memiliki niat tidak baik," jelasnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com