Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lontong Kari di Gang Sempit

Kompas.com - 12/07/2009, 07:53 WIB

KOMPAS.com — Warung Lontong Kari Kebon Karet menyempil di ujung sebuah gang sempit. Meski begitu, pembelinya berdatangan nyaris tiada henti dari pagi hingga malam hari. Apa sebenarnya keistimewaan lontong kari di warung itu?

Dari Jalan Otto Iskandardinata, Bandung, warung tersebut sama sekali tidak kelihatan. Hanya ada satu papan nama Lontong Kari Kebon Karet dan tanda panah sebagai petunjuk keberadaan warung tersebut. Kami mengikuti petunjuk papan nama itu dan tiba di sebuah mulut gang selebar satu meteran.

Kami menelusuri gang yang meliuk-liuk di tengah permukiman padat itu. Ternyata di sana ada beberapa warung makan, kios reparasi sepatu, hingga penjual colenak (tape bakar yang diberi gula merah cair). Di ujung gang, baru kami temui warung Lontong Kari Kebon Karet (LKKK).

Warungnya sederhana, tetapi relatif bersih. Setidaknya, tidak ada bau tak sedap yang menyeruak di warung itu. Meja dan kursi juga bebas dari ceceran bekas makanan.

Sekitar pukul 08.30, Jumat (3/7), sejumlah pembeli menempati sebagian besar kursi yang tersedia di warung berukuran sekitar 30 meter persegi itu. Hampir semuanya memesan lontong kari dan es campur. Dua menu itu memang menjadi andalan warung tersebut.

Semakin siang, pengunjung yang datang semakin banyak. Ada ibu-ibu berkerudung, anak-anak muda berpakaian modis, dan bapak-bapak berpakaian tentara serta polisi. Puncaknya terjadi setelah waktu shalat Jumat. Semua kursi yang ada di warung itu diduduki pembeli. Mereka yang tidak kebagian kursi harus menunggu di gang sempit.

”Kalau hari Sabtu dan Minggu lebih penuh lagi karena banyak orang Jakarta yang mampir. Mereka sampai berbaris di gang sebelum mendapat kursi di dalam,” ujar Aldi Junaedi (42), pengelola warung tersebut.

Mengapa orang rela antre di gang sempit itu sekadar untuk mencicipi lontong kari?

Sebenarnya, penjual lontong kari tersebar hampir di semua wilayah Bandung. Biasanya mereka menjajakannya keliling kampung dengan pikulan pada pagi hari. Secara umum, tampilan masakan ini seperti gulai yang terdiri dari lontong ditambah kuah kari encer dengan isi tetelan (daging campur lemak). Makanan ini disajikan dengan kerupuk mi atau merah.

Nah, LKKK agak berbeda. Kuah karinya lebih kental dengan isi daging sengkel tanpa lemak. Masakan ini disajikan dengan lontong, emping, acar ketimun, sambal, dan jeruk limau. Rasanya, gurih, sedikit manis, dan kaya rempah.

”Buat saya, lontong kari di sini rasanya istimewa,” kata Melly (35), warga Padalarang yang datang ke warung itu bersama ibunya, Yenny (54).

Dia mengaku dua minggu sekali pasti datang ke warung itu untuk menyantap semangkuk lontong kari. ”Kakek-nenek saya, ibu saya, juga jadi pelanggan di sini. Jadi, saya ini pembeli generasi ketiga,” katanya.

Harga semangkuk lontong kari biasa Rp 9.000. Lontong kari spesial telur Rp 10.000. Biasanya, pembeli memesan lontong kari spesial dan semangkuk es campur.

Pinggir jalan

Warung LKKK dirintis H Engkos Kosasih dan Hj Eti Suryati pada tahun 1966. Awalnya, mereka berjualan di pinggir Jalan Otto Iskandardinata depan Gang Kebon Karet, tidak jauh dari kediaman resmi Gubernur Jawa Barat.

Sekitar tahun 1999, mereka membeli sebuah rumah di Gang Kebon Karet. Selanjutnya, mereka berjualan di rumah itu hingga sekarang. Kehadiran warung itu sekaligus menghidupkan gang tersebut. Warung-warung lain pun bermunculan.

Setelah Eti meninggal dunia lima tahun lalu, warung itu dikelola Engkos dan tiga anaknya, yakni Aldi Junaedi, Teddi Rudiana (47), dan Dedeh (50). Setiap hari, Engkos yang telah berusia 76 tahun masih meracik bumbu kari sendiri. Aldi, Teddi, dan Dedeh terjun langsung mengawasi proses produksi lontong dan kuah kari.

”Kami sengaja terjun langsung karena rahasia lontong kari ada di takaran bumbu dan cara memasaknya. Kami belum bisa menyerahkan kepada orang lain. Takut rasanya berubah,” kata Aldi.

Aldi sebelumnya bekerja sebagai staf pemasaran sebuah perusahaan besar di bidang makanan. Namun, dia melepas pekerjaan itu dan berkonsentrasi mengurus warung. Kakaknya, Teddi, masih bekerja sebagai pegawai Pemprov Jabar. Untuk mengelola usaha ini, mereka dibantu sekitar 20 pegawai.

Aldi menceritakan, dengan menjaga kualitas makanan, hingga sekarang warungnya masih diserbu pembeli. Warung yang buka mulai pukul 07.00 hingga 20.00 ini setiap hari rata-rata menjual 250 porsi lontong kari. Pada akhir pekan, penjualan rata-rata 350 porsi. Dari lontong kari saja, pemasukan kotor warung ini berkisar Rp 2,25 juta-Rp 2,5 juta. Pada akhir pekan meningkat menjadi Rp 3,25 juta-Rp 3,5 juta. Itu belum termasuk pemasukan dari penjualan es campur, soto bandung, dan nasi goreng.

Saat ini, LKKK membuka enam counter di sejumlah arena makan pusat perbelanjaan, antara lain di Jalan Riau, Dago, dan Kepatihan. ”Kami ingin memudahkan pembeli yang tidak ingin repot masuk keluar Gang Kebon Karet hanya untuk makan lontong kari,” ujar Aldi.

Laki-laki murah senyum itu menambahkan, keluarganya juga bermimpi bisa memperluas usahanya hingga ke daerah lain, seperti Jakarta. ”Kalau berhasil, semua akan dikendalikan dari gang sempit ini.”

Sebagai langkah awal, dia akan memperkuat strategi promosi. ”Kalau sekarang promosinya masih dari mulut ke mulut. Mungkin ke depan kami akan bikin situs di internet agar lontong kari ini lebih terkenal,” tutur Aldi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com