Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cita Rasa Dua Bangsa (2)

Kompas.com - 26/11/2009, 19:12 WIB

Ketika dulu Kang Dadang masih bermukim di Indonesia, ia sering mengeluhkan kerinduannya bertemu keju di mulut Perancisnya. Dan, saya selalu berkata padanya,

“Kan banyak keju di supermarket! Ada keju kraft misalnya yang sering dipakai untuk masakan atau kue.”  

Tapi jawabnya selalu sama,
“Itu sih bukan keju, tapi plastik!”

Eleuh-eleuh, kata saya, sampai segitunya.

Bagi orang Eropa keju adalah makanan sehari-hari. Sementara saya, sejak kecil tidak suka keju. Beda dengan kakak dan adik saya yang penggemar berat keju. Setiap kali kami diajak orang tua ke luar negeri, mereka berdua selalu memanfaatkan kesempatan untuk bisa makan sesuatu yang berbau keju. Sementara saya, untung ibu tercinta selalu membawa rice cooker mini-nya agar saya bisa makan nasi dan abon.

Saat akhirnya saya harus mengikuti suami bermukim di Perancis, bertemulah saya setiap waktu dengan makanan yang selama hidup saya selalu saya hindari. Wajah Kang Dadang selalu berbinar-binar ketika akhirnya bisa bertemu lagi dengan si keju. Sementara, saya selalu menutup hidung karena tak tahan dengan baunya. Kalau hanya keju sapi masih bisalah hidung ini bertahan, tapi kalau yang namanya keju kambing atau domba,  arrgghhh, benar-benar bikin saya lieur (pusing).

Suatu kali, tante dan paman Kang Dadang kembali dari Corsica. Oleh-oleh yang mereka bawa adalah keju. Saat itu baru satu setengah tahun saya hidup di Perancis, jadi keju masih tetap belum bisa diterima dengan baik di hidung dan mulut kampung saya.

“Nah David, ini keju Casu marzu pesanan kamu. Asli benar dari Corsica dan rasanya memang mantap!” jelas paman Kang Dadang dengan gaya Perancisnya (yaitu mulut dibunyikan 'muah' dan ibu jari menyentuh telunjuk).

Keju yang masih dibungkus dalam kertas alumunium itu membuat saya penasaran tentu saja, karena dari baunya sudah seliweran menyengat hidung.

Merci (terimakasih). Nanti saja bukanya, takut kalau Dini pingsan...hehehe,” jawab Kang Dadang.

Justru karena main sembunyi, saya malah makin penasaran. Saya minta saja pada mereka untuk membukanya. Masak sih lihat keju saja bisa pingsan. Lebay banget mereka, batin saya.

Ternyata, memang bukan tanpa alasan mereka tidak membuka bungkus keju di depan saya. Keju dari Corsica itu sudah berfermentasi sehingga baunya bagai barang busuk. Tidak hanya itu, di dalam keju ada mahluk hidup kecil yang menggeliat. Ulat! Iiihhhh, saya sampai enek sendiri melihatnya.

Keju terkenal dari Corsica ini memang sengaja dibusukkan dengan bantuan larva keju. Herannya, harganya sangat mahal. Biarpun sulit dicari dan harganya mahal tetap saja ulat sepanjang 8mm bikin pusing kepala. Beberapa orang memilih untuk membuang ulat terlebih dahulu sebelum memakannya, tapi ada pula yang memilih makan dengan ulatnya. Makanya, keju ini sering disebut sebagai keju berjalan.

Dengan tenangnya, mereka mencicipi keju itu dengan roti sambil berkata, “Hmmm... excellent (luar biasa).”

Walaupun ulat yang ada di keju sudah dibuang tetap saja saya berbisik kepada suami, “Sehabis makan ini kamu wajib sikat gigi dan kumur-kumur. Kalau tidak jangan harap ya Si Eneng mau nyium Akang lagi....”

Adam,  anak sulung saya, sudah jatuh cinta dengan keju sejak umur dua tahun. Ternyata, darah Perancis dari bapaknya mengalir kental. Bahkan, keju busuk yang paling terkenal di Perancis yaitu Roquefort, sangat digemarinya.  Keju yang difermentasi oleh penicillium roqueforti di dalam gua ini rasanya sangat ajaib di lidah saya. Selain bentuknya yang biru karena pembusukan, baunya pun menyengat luar biasa.

Herannya, tanpa saya sadari, perlahan saya mulai bersahabat dengan musuh saya itu. Saya tidak tahu bagaimana mulanya, tiba-tiba saja saya ingin mencicipi berbagai macam keju. Meski begitu, saya belum bisa bersahabat dengan si raja keju busuk (roquefort). Saya baru bisa menyantapnya jika dicampur dalam makanan atau dijadikan saus.

Bisa jadi saya tergoda oleh ekspresi wajah orang Perancis saat mereka menikmati keju. Kenikmatan yang saya lihat pada wajah-wajah mereka membuat saya melupakan bau khas yang tadinya tak enak di hidung. Sama seperti awalnya orang tak menyukai durian karena baunya, tapi lama kelamaan jadi menikmatinya.

Pete

Setiap kali pulang kampung atau orang tua datang berkunjung, sudah pasti satu tupperwear pete masuk dalam koper. Saya dan suami penggemar berat pete. Sekarang tambah satu:  Adam. Pete kami bekukan, kalau tidak mana mungkin bisa awet. Ibu saya tersayang selalu rajin mengupasi pete satu persatu untuk dibawa ke Perancis. Kulit ari si pete memang sengaja tak dibuka agar lebih awet. Jadi, apakah si pete kosong atau isi baru ketahuan nanti saat dimakan.

Tahun 2004 kami sekeluarga pulang kampung dalam rangka pernikahan adik bungsu saya (kini sudah almarhum). Itu adalah pulang kampung kedua saya. Dalam kesempatan itu, seperti biasa, satu tupperwear pete masuk koper kecil di kabin pesawat. Dari Jakarta hingga Singapura tak ada masalah, aman-aman saja, seperti layaknya setiap kali kami kembali ke Perancis dengan pasukan pete.

Tapi di Paris, petugas bandara meminta kami membuka tas yang berisi pete. Duh, masak sih kami tersangkut masalah hanya karena pete, pikir saya. Selama ini kami tak pernah mengalami masalah dengan penganan khas tanah air ini. Ternyata, mereka tidak tertarik pada pete, tapi pada patung antik kecil. Naasnya, patung itu memang ditaruh di atas tupperwear berisi pete. Melihat butiran bagai bola di dalam tupperwear, petugas pun meminta kami memperlihatkannya.

“Permisi ya, Pak. Tolong kotak ini juga diperlihatkan,” pintanya ramah sambil menunjuk tupperwear..
“O, kotak ini isinya biji kacang yang kami bawa dari Indonesia. Dan, setahu saya tak ada masalah membawa makanan ini masuk ke Perancis,” jawab Kang Dadang. (Untungnya, Perancis hingga saat ini tidak melarang penumpang pesawat membawa makanan asalkan kering dan tahan lama)
“Memang tak ada masalah, Pak. Hanya saya meminta Anda untuk memperlihatkannya!” jawabnya dengan nada agak tinggi.  

Kami pun membuka bungkusan koran dan plastik yang membungkus pete.
“Oh, mon dieu! (ya Tuhan!),” seru si petugas.
“Kalian membawa ulat Indonesia ke Perancis untuk dimakan?!” petugas wanita itu memandang kami dengan heran.
“Bukan ulatnya yang kami makan, tapi biji kacang ini. Soal ulat memang sudah jadi bagiannya, sama seperti keju Corsica kan?” jelas suami membela si pete.

“Yahh, kalau sampai tuh pete dibuang, Dadang sedih banget deh, setahun enggak bisa makan pete.  Ade berdoa dong, biar petugasnya enggak buang harta kita,” bisik Kang Dadang serius. (Ade adalah panggilan Kang Dadang untuk saya)

Saya sih pasrah saja jika pete-pete kami melayang dalam tong sampah. Aduh, itu ulat-ulat kecil kenapa pula menggeliat keluar dari rumahnya. Biarpun ulatnya tidak banyak, tetap saja kelihatan menjijikkan. Sebelnya lagi, para petugas itu mikirnya ulat-ulat itu adalah santapan kami.

Petugas wanita tampak berbisik serius dengan seorang pria (mungkin atasannya). Keputusannya: nasib pete akhirnya dibebaskan kepada kami. Sumpah, saya betul-betul heran melihat reaksi suami saya yang begitu girang ketika akhirnya bisa mendapat izin membawa para pete hingga ke kota kami Montpellier. Malahan kami diberikan satu kantong plastik proteksi untuk si pete.

Bukan hanya Kang Dadang yang ngefans berat dengan pete, sejumlah teman kami yang pernah tinggal di Indonesia pun umumnya menyukainya. Hingga kini tak pernah ada kata penolakan untuk pete dalam tiap jamuan makan malam yang kami selenggarakan. Padahal, seringkali kami hanya menyajikan dalam bentuk pete goreng saja. Sejumlah orang mengunyah pete begitu saja seperti makan kacang.

“Hati-hati harus dibelah dulu, dilihat dalamnya ada ulat atau tidak,” begitu saya sering menggoda.
“Kalau ulat dari kacang hijau ini sih bersihlah, malah bervitamin dan nambah rasa,” jawab mereka.

Eleuh...sebenarnya saya ini sedang berada di Perancis atau prapatan Ciamis ya?

(Tamat)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pantai Kembar Terpadu di Kebumen, Tempat Wisata Edukasi Konservasi Penyu Tanpa Biaya Masuk

Pantai Kembar Terpadu di Kebumen, Tempat Wisata Edukasi Konservasi Penyu Tanpa Biaya Masuk

Travel Update
Siaga Suhu Panas, Petugas Patroli di Pantai Bangka Belitung

Siaga Suhu Panas, Petugas Patroli di Pantai Bangka Belitung

Travel Update
Cara ke Museum Batik Indonesia Naik Transjakarta dan LRT

Cara ke Museum Batik Indonesia Naik Transjakarta dan LRT

Travel Tips
Layanan Shower and Locker Dekat Malioboro, Personelnya Bakal Ditambah Saat 'Long Weekend'

Layanan Shower and Locker Dekat Malioboro, Personelnya Bakal Ditambah Saat "Long Weekend"

Travel Update
Museum Batik Indonesia: Lokasi, Jam Buka, dan Harga Tiket Masuk 2024

Museum Batik Indonesia: Lokasi, Jam Buka, dan Harga Tiket Masuk 2024

Hotel Story
3 Destinasi Wisata Unggulan Arab Saudi, Kunjungi Museum Bersejarah

3 Destinasi Wisata Unggulan Arab Saudi, Kunjungi Museum Bersejarah

Travel Tips
Mengenal Subak Jatiluwih yang Akan Dikunjungi Delegasi World Water Forum 

Mengenal Subak Jatiluwih yang Akan Dikunjungi Delegasi World Water Forum 

Jalan Jalan
Area Baduy Dalam Buka Lagi untuk Wisatawan Setalah Perayaan Kawalu 

Area Baduy Dalam Buka Lagi untuk Wisatawan Setalah Perayaan Kawalu 

Travel Update
5 Wisata di Bandung Barat, Ada Danau hingga Bukit

5 Wisata di Bandung Barat, Ada Danau hingga Bukit

Jalan Jalan
Aktivitas Bandara Sam Ratulangi Kembali Normal Usai Erupsi Gunung Ruang 

Aktivitas Bandara Sam Ratulangi Kembali Normal Usai Erupsi Gunung Ruang 

Travel Update
5 Cara Motret Sunset dengan Menggunakan HP

5 Cara Motret Sunset dengan Menggunakan HP

Travel Tips
Harga Tiket Masuk Balong Geulis Cibugel Sumedang

Harga Tiket Masuk Balong Geulis Cibugel Sumedang

Jalan Jalan
Tips Menuju ke Balong Geulis, Disuguhi Pemandangan Indah

Tips Menuju ke Balong Geulis, Disuguhi Pemandangan Indah

Travel Update
Serunya Wisata Kolam Renang di Balong Geulis Sumedang

Serunya Wisata Kolam Renang di Balong Geulis Sumedang

Jalan Jalan
Nekat Sulut 'Flare' atau Kembang Api di Gunung Andong, Ini Sanksinya

Nekat Sulut "Flare" atau Kembang Api di Gunung Andong, Ini Sanksinya

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com