Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meretas Sulitnya Berkomunikasi

Kompas.com - 15/01/2010, 17:10 WIB

Hidup di Perancis tanpa menguasai bahasanya merupakan hal yang pelik. Keluarga Kang Dadang, walaupun bisa berbahasa inggris, tetap saja memilih bahasa Perancis untuk berkomunikasi dengan saya. Hanya ibu mertua dan adik ipar yang secara sukarela melayani bahasa inggris saya. Selebihnya hanya sepatah dua kata saja yang terlontar dari mulut keluarga baru saya itu.

Masyarakat Perancis cenderung merasa nyaman dengan bahasa ibu mereka. Semua tayangan televisi menggunakan bahasa Perancis. Film berbahasa Inggris di-dubbing dalam bahasa mereka. Bahkan, untuk film layar lebar pun, orang Perancis lebih senang menonton versi dubbing-nya.

Lima tahun lalu, di kota saya –Montpellier-, hanya tiga bioskop yang menayangkan film-film dalam bahasa aslinya. Bioskop-bioskop lain memutar film-film versi dubbing. Dua dari tiga bioskop itu tutup empat tahun lalu. Bangkrut, kehilangan penonton. Masih ada satu bioskop yang bertahan, entah sampai kapan.

Alasan-alasan di ataslah yang membuat saya bertekad untuk segera membebaskan diri dari masalah bahasa. Kesulitan komunikasi membuat saya sering salahpaham. Misalnya, saya jadi sering curiga bila ada orang yang tertawa sambil memandang saya atau merasa orang di depan saya sedang membentak saya, padahal bukan itu yang terjadi.

Di lain pihak saya juga merasa lelah karena harus tergantung dengan orang lain untuk urusan bahasa. Ke dokter  harus ditemani karena dokternya kadang tak mau berbahasa inggris. Pernah saya pergi ke toko sayur dan si penjual sayur tak kunjung mengerti barang yang saya cari. Akhirnya, terpaksa, saya membeli barang-barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan.  Saya juga sempat bersilat lidah dengan sopir bus karena kesalahanpahaman bahasa. Pokoknya, segalanya jadi terasa runyam....

Menjadi mahasiswa lagi

Setelah Kang Dadang mendapatkan pekerjaan kami meninggalkan rumah orang tua Kang Dadang dan mulai hidup sendiri di apartemen milik kami. Tidak ada lagi mertua yang membantu setiap saat kami butuhkan. Bahasa Perancis saya walaupun dalam beberapa bulan mengalami kemajuan tetap saja terbatas. Ditambah, bahasa sehari-hari yang kami gunakan di rumah adalah bahasa Indonesia. Jadi, majunya juga alon-alon.

Di sini segalanya dikerjakan sendiri. Jadi, bagaimana bisa mandiri jika ke mana-mana harus ditemani karena kesulitan berkomunikasi? Saya memutuskan untuk sekolah. Untunglah setiap kota di Perancis umumnya memiliki lembaga penyelenggara kurusus bahasa bagi para pendatang. Bila tinggal di kampung kecil, tempat kursus bisa ditemukan di kota terdekat.

Ada sejumlah penyelenggara kursus bahasa. Yang paling enak tentu saja kursus yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kursus ini ada yang gratis plus mendapat kesempatan kerja magang. Ada juga kursus yang diselenggarakan oleh kotamadya setempat. Umumnya kursus yang jenis ini berbayar meski sangat murah. Tak sedikit pula kursus-kursus “swasta” yang dikelola secara pribadi. Nah, kursus yang terakhir ini ongkosnya mahal.

Semua informasi mengenai lembaga penyelenggara kursus bisa didapat di internet atau bisa juga datang ke kantor walikota setempat. Di kota saya Montpellier, segala macam kursus bahasa Perancis bisa ditemukan, mulai yang gratis hingga mahal.

Dari semua lembaga yang ada, saya memilih belajar bahasa Perancis di Universitas Paul Valery. Di kampus itu ada kelas khusus untuk orang asing. Informasi tentang kampus ini saya dapat dari adik ipar saya yang menjadi mahasiswa di sana. 

Umumnya, mereka yang mengambil kelas ini adalah orang asing yang akan melanjutkan studi di Perancis. Ada juga orang asing yang mengambil kelas ini guna mendapatkan diploma untuk bekal mengajar bahasa Perancis di negaranya. Saya pun bisa mendapatkan diploma di kelas ini, sesuatu yang tidak bisa saya dapatkan di lembaga kursus lain.  

Tapi sayang, belajar bahasa di kampus ini tidak gratis. Meski kampus negeri, Universitas Paul Valery tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Jadi, para mahasiswa di kampus ini harus membayar uang kuliah. Di Perancis program sekolah gratis berlaku dari tingkat TK hingga SMA. Sementara di tingkat universitas biaya kuliah boleh dibilang murah sekali. Mahasiswa hanya membayar di tahun pertama, selebihnya tidak ada lagi biaya kuliah. Kala itu, tahun 2001, saya harus membayar 700 euro per semester.

Saya tertarik  dengan mata pelajaran yang ditawarkan oleh kampus ini. Kita tidak hanya belajar bahasa, tapi juga cinema, ekonomi, sosial, dan banyak pilihan lainnya. Tak apalah harus keluar uang, toh untuk kemajuan diri sendiri, pikir saya.

Banyak orang bilang bahasa Perancis adalah bahasa terindah sedunia. Buat saya, bahasa Perancis susahhhh dan jelimet! Belajar bahasa Inggris saja sudah lumayan bikin pusing karena tata bahasanya, tapi bisalah terserap oleh otak ini. Nah, kalau bahasa Perancis, -istilahnya orang “perancis” alias perapatan Ciamis- “kabina-bina teuing heseh pisan!” (keterlaluan susah bener).

Entah karena faktor umur juga kali ya yang sudah menua, tata bahasa Perancis sulit sekali tercerna dengan baik di otak saya. Bayangkan saja, setiap kata memiliki jenis kelamin! Kita wajib hapal! Perubahan kata kerja berdasarkan waktu dan si pemakai juga bikin kepala saya menguap.

Awal tahun ajaran, saya dibuat stress luar biasa. Apalagi teman kuliah saya rata-rata anak  baru lulus SMA, jadi otaknya juga masih segar. Dosen saya di tahun ajaran pertama merupakan mimpi buruk bagi saya. Entah ada apa dengan dirinya, tapi mulutnya selalu saja sinis dengan orang Asia. Kesal sekali saya dengan celotehannya tentang kami orang Asia.

“Orang Asia kupingnya tuli, susah sekali mencerna tatabahasa Perancis. Berkali-kali diterangkan, mereka tetap saja tak mengerti. Mungkin ada sumbat di kupingnya kali ya,” begitu sering dia berucap.

Lain waktu dia bicara begini, “Orang Asia bukan hanya pemalas, tapi juga lamban sekali otaknya. Saya sudah tidak tahu lagi bagaimana harus menerangkan kepada kalian.”

Saya berusaha menerangkan padanya bahwa tata bahasa Indonesia boleh dibilang mudah. Untuk menunjukan waktu, kami menggunakan sebuah kata, tak ada perubahan dalam kata kerjanya. Misalnya, mau makan kemarin, hari ini atau esok, kata kerjanya tak berubah. Jadi saya minta agar dia memaklumi kelambatan otak saya.

“Memang bahasa negara kamu mudah sesuai dengan otak bangsanya,” jawab dia sambil bercanda.

Saya tersinggung sekali waktu itu. Setengah berang saya katakan bahwa bahasa Indonesia sengaja dibuat tidak njelimet karena kecemerlangan akal bapak pendiri bangsa. Bahasa nasional ini menyatukan masyarakat di 17.500 pulau dan memiliki lebih dari 200 bahasa daerah. Kalau bahasa nasionalnya njelimet akan sulitlah rakyat Indonesia yang sangat heterogen ini berkomunikasi. Alasan ini sebenarnya saya cari-cari saja, habis telanjur kesal.

Sindiran demi sindiran yang terlontar dari mulutnya tak juga berhenti. Hati yang tadinya adem ayem jadi memanas juga dan akhirnya memuncak. Suatu hari saya sungguh tak tahan lagi mendengar celotehannya tentang kami orang Asia. Saya beranjak dari kursi dan keluar meninggalkan kelas. Cukup sudah telinga saya menerima hinaan darinya. Saya menghadap direktur kampus meminta pindah kelas dan diizinkan. Dua teman saya yang lain akhirnya ikut pindah kelas juga.

Hingga kini dosen itu masih mengajar di kampus tersebut. Entah apa yang terjadi kemudian antara dia dan direktur jurusan. Saya memilih tak memperpanjang persoalan. Yang penting saya sudah tidak lagi mendengar celotehnya yang bikin panas kuping ini.

Tak lagi terasing

Setelah tiga tahun belajar akhirnya saya berhasil melewati ujian dengan nilai yang baik. Tahun pertama memang tahun-tahun pahit, terutama pengalaman bersama dosen yang tidak simpatik. Namun, setelah itu hanya pengalaman manis yang saya dapatkan: dosen yang simpatik, teman kuliah yang menyenangkan, dan mata kuliah yang meninggalkan kesan mendalam.

Di tahun terakhir saya mengambil mata kuliah bebas: teater. Saya manggung, memainkan satu peran dalam bahasa Perancis. Bahasa yang dulunya hanya terdengar sebagai gumaman tidak jelas kini scara spontan bisa terucap lancar dari mulut Indonesia saya.

Saya tak bisa melupakan sosok seorang dosen yang saya kenang sebagai orang baik yang mendorong saya bersemangat belajar bahasa Napoleon Bonaparte ini. Saya masih ingat nasihatnya, “'Tak bisa berkomunikasi padahal kamu hidup di dalamnya sama saja dengan menjadi cacat, apakah kamu mau membiarkan dirimu yang sehat menjadi cacat?”

Saat saya berusaha mati-matian agar logat Asia saya terhapus saat saya berbicara Perancis, dosen saya itu  berujar, “Tak penting bagaimana cara dan logat kamu berbicara dalam suatu bahasa, karena logat kamu adalah gambaran dirimu. Jutsru itulah keunikannya.”

Saya akui, sejak bahasa Perancis terlontar baik dari mulut saya, rasanya hidup jadi terasa lebih ringan. Saya merasa lebih bebas dalam beraktivitas dan tak takut lagi ketika harus berbicara dengan seseorang. Saya tak bisa berkata bahwa kehidupan saya jadi indah karena saya sudah mampu berkomunikasi dalam bahasa Perancis. Hanya, memang terasa berbeda.

Masyarakat Perancis sangat menghargai orang asing yang berkomunikasi dalam bahasanya.  Berbeda sekali memang, dulu saya merasa mata mereka sering menyipit jika saya ajak bicara dalam bahasa Inggris, sekarang kerap kali pundak saya ditepuk-tepuk menandakan keakraban.

Hubungan bisa terjalin dengan manis karena komunikasi yang baik dan lancar. Begitu juga hubungan saya dengan negara kedua saya ini. Saya tak lagi merasa terbuang dan Perancis tak lagi terlalu asing di mata saya.

Menguasai bahasa setempat memang memudahkan kita dalam menyibak tradisi kebudayaan negara itu dan mengenal masyarakatnya. Sepuluh tahun tinggal di sini mungkin waktu yang tidak singkat. Tapi, sepuluh tahun terlalu singkat untuk mengenal Perancis sepenuhnya. Saya merasa masih membutuhkan waktu lebih banyak untuk menyingkap sejuta warna lain negeri ini dan membagikan cerita itu kepada Anda.


Selesai

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com