Saya berlari sepanjang dermaga yang panjang, motret sana-sini. Sementara penumpang speed terakhir sudah menghilang dibawa ojek entah kemana. Akhirnya saya putuskan berjalan kaki, melalui pasar di pinggir pelabuhan, lalu lurus mendaki. Pura-pura tak peduli. Tiba-tiba seorang lelaki, berpakaian tentara, yang menyapu di depan kantornya, menegur saya. “Ci mau kemana?” Obrolan pembukanya bagai titik terang. Saya bisa bertanya ini-itu.
Kantor batalyonnya menghadap ke sebuah gereja. Tua. Nampak rusak. Bobrok. Buah Hati Kudus namanya. Ada tanya. Kenapa bisa rusak begitu dan tak diperbaiki. Ada keinginan mengabadikannya.
Pak tentara yang pernah 26 tahun tugas di Nabire, Papua ini lalu meminjamkan keponakannya, tukang ojek, untuk membawa saya keliling Morotai. Tengah hari, pukul 14.00, saat panas-panasnya, saya keliling Morotai. Banyak yang mau saya lihat, terutama peninggalan tentara sekutu di sana. Ada dermaga tua, ada transmeter air kaca, juga sebuah meriam yang tak utuh lagi. Sempat kami menuju bandara, tapi dilarang petugas lanud di sana untuk motret. Pangkalan militer. Tertutup bagi umum. Tapi saya tidak menyerah, menyelip di sela jalan menuju bandara untuk mengambil gambar sekedarnya.
Sayang tak banyak lagi yang tersisa dari PD II. Bangkai kapal selam sudah banyak yang diangkat. Meriam-meriam, tank-tank, dan semuanya bersih diangkut Herlina, Pahlawan Trikora, untuk dijual sebagai besi tua. Sisa-sisa besi tua ini disulap menjadi beragam alat perhiasan yang disebut besi putih, dan banyak dijual di Ternate.
“Paling kakak bisa menuju Pulau Sumsum, sewa ketinting dari sini. Di sana sedang dibuat patung McArthur,” kata tukang ojek, mencoba menghibur. Saya mengiyakan. Ada juga Pulau Langere-ngere, tempat budi daya mutiara. Satu dua industri perhiasan dari besi putih ada di sebalik pulau lengkap dengan rongsokan besi tua kapal selam.
Dalam kepanasan dan keputusasaan menyusuri jejak McArthur, saya menemukan hal lain. Gereja-gereja yang rusak, puing-puing rumah yang menyemak, sia-sisa kerusuhan agama sepanjang 1999-2002. Saya tanya tukang ojek itu. “Kamu di sini selama kerusuhan itu?”
“Iya Kakak, saya masih dua SMA ketika itu,” jawabnya lirih.
“Apa yang kamu lihat? Seramkah..”
“Aaih.. begitulah, aih.. gimana ya, aih..aih”
Lelaki itu tak mampu berucap. Kehabisan kata. Wajahnya yang merah terbakar nampak pias. Ada kengerian di matanya.