RENE L PATTIRADJAWANE
Pengejawantahan globalisasi memiliki jalannya sendiri dalam mencari fondasi baru. Fondasi itu penting untuk menyusun strategi masa depan yang ingin dicapai oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Elemen-elemen globalisasi di tingkat regional menghadirkan multilateralisme untuk menyusun kepentingan yang saling menguntungkan, baik di sektor ekonomi, sosial, politik, dan lainnya.
Ketika China dan Taiwan menandatangani Perjanjian Kerangka Kerja Sama Ekonomi (ECFA), Selasa (29/6), sebuah era baru pertikaian relik Perang Dingin, yang menjadikan Selat Taiwan sebagai titik panas, berakhir. Saling klaim karena perbedaan ideologi dan sisa perang saudara daratan China pasca-Perang Dunia II tunduk pada tuntutan ekonomi dan perdagangan menuju kesejahteraan bersama.
Perjanjian Chongqing ECFA, sebuah kota markas kaum nasionalis Kuomintang (Partai Nasionalis China) pada masa perang saudara 1945-1949 di Provinsi Sichuan, adalah babakan baru yang mengakhiri pertikaian Kuomintang dan kaum komunis
Bagi China-Taiwan, ini kesepakatan rahasia yang pertama kali dilakukan dan dibangun beberapa tahun setelah Kuomintang kalah dalam pemilu presiden dan kehilangan kekuasaannya pada tahun 2000 ketika Ketua Kuomintang Lien Chan berhadapan dengan Chen Shui-bian dari Partai Progresif Demokrat (DPP).
Perjanjian Chongqing melakukan liberalisasi pada beberapa aspek penting di dalam hubungan ekonomi China-Taiwan. Secara bilateral, kedua belah pihak akan mendorong lebih jauh kerja sama perdagangan yang sekarang mencapai 100 miliar dollar AS setahun.
Perjanjian Chongqing memiliki dua faktor keterkaitan dan saling menguntungkan pada jangka panjang dan pendek bagi kedua belah pihak. Taiwan secara ekonomi akan mendekat ke China sebagai negara dengan kekuatan ekonomi baru di dunia.
Bagi China, ini adalah era baru menuju ke rekonsiliasi melalui jalur ekonomi, setelah lebih dari enam dekade tidak mampu bergerak mencapai tujuan unifikasi melalui jalan militer. Faktor paling penting Perjanjian Chongqing ini adalah dampaknya terhadap perekonomian regional, termasuk kerja sama ekonomi dan perdagangan keseluruhan Asia-Pasifik yang selama ini dimotori AS.
Dan sekali lagi, sebuah model multilateralisme Asia Timur atas nama kesejahteraan dan kepentingan bersama, menihilkan eksistensi kepentingan ekonomi AS. Ini adalah sebuah kenyataan ekonomi baru di kawasan ini.
Langkah menuju Perjanjian Chongqing sekali lagi membuktikan perlunya antisipasi lebih luas terhadap resesi yang melanda dunia, terutama negara maju. Antisipasi itu adalah lewat pembentukan kesepakatan perdagangan bebas yang selama ini dikejar AS, tetapi tidak mampu meratifikasi perjanjian perdagangan dengan negara-negara Asia, seperti perjanjian perdagangan bebas AS-Korea Selatan.
Perjanjian Chongqing memberi akses mudah kepada Taiwan untuk membonceng China dalam membangun jejaring ekonomi lewat liberalisasi perdagangan di kawasan Asia, terutama ASEAN+3 yang menjadi pemain penting kawasan. Perjanjian ini menghasilkan ekosistem ekonomi, perdagangan, dan politik ke dalam komunalitas baru, yang tidak lagi bersandar pada kepentingan AS yang semakin kehilangan pengaruh.