Obyek yang kerap dikunjungi wisatawan sekarang sangat bervariasi. Ada yang ingin menikmati keindahan panorama, tetapi ada pula yang lebih menyukai wisata sejarah. Bahkan, dari kegiatan tersebut selalu menyatu dengan kuliner dan belanja.
Itu berarti, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat Palembang perlu mengantisipasi dan menyiapkan berbagai kebutuhan wisatawan tersebut. Misalnya, membenahi obyek wisata, membangun jaringan infrastruktur menuju ke lokasi wisata, dan menyiapkan berbagai kebutuhan, seperti kuliner dan suvenir, di lokasi wisata sehingga waktu kunjung wisatawan menjadi lebih lama dan mengeluarkan biaya yang lebih banyak.
Selama ini Palembang sebenarnya memiliki obyek wisata yang beragam. Potensi yang dimiliki antara lain wisata sejarah budaya, wisata kuliner, wisata pemandangan, wisata agro, wisata belanja, dan taman kota.
Namun, tidak semua tempat tujuan wisata digarap dengan baik dan profesional. Itu sebabnya, jumlah wisatawan asing dan domestik yang mengunjungi obyek wisata, seperti Pulau Kemaro dan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, belum banyak dengan waktu kunjung yang selalu tak lebih dari dua jam.
Pulau Kemaro, misalnya, hanya mampu menyedot puluhan ribu wisatawan mancanegara ketika perayaan Cap Go Meh tiba. Menurut Rachman Zeth, pengamat pariwisata asal Palembang, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Pulau Kemaro ini antara lain berasal dari Thailand, Singapura, China, Jepang, Malaysia, dan dari beberapa penjuru Indonesia.
”Semua turis sengaja datang ke Pulau Kemaro untuk berdoa, merayakan pergantian malam Cap Go Meh, sekaligus berwisata. Sebagian wisman yang datang biasanya merupakan kerabat dari keluarga yang tinggal di Kota Palembang. Sebagian lagi datang karena murni ingin berwisata budaya,” kata Zeth.
Akan tetapi, berdasarkan hasil pengamatan di sekitar kawasan Pulau Kemaro, terlihat tempat wisata ini belum didukung dengan infrastruktur yang memadai. Pengunjung yang menggunakan jalan darat untuk mencapai Pulau Kemaro harus berhadapan dengan kondisi jalan rusak sepanjang 1 kilometer, mulai dari kawasan Intirub (istilah setempat) hingga ke tepi Sungai Musi. Selain itu, kawasan Intirub yang merupakan bekas areal pabrik ban juga belum dilengkapi bangunan khusus parkir sehingga rawan pencurian.
Keluhan soal ketidaknyamanan juga disampaikan sejumlah pengunjung yang melewati jalur sungai saat hendak menuju Pulau Kemaro. Dinah (39), warga Dumai, Riau, yang ditemui di dermaga Benteng Kuto Besak (BKB) mengungkapkan kekagetannya soal mahalnya tarif sewa perahu ketek. Untuk menuju kawasan yang letaknya ada di bagian timur Sungai Musi tersebut, tukang perahu memasang harga Rp 150.000.
”Padahal, mengacu pada papan aturan tarif yang dipasang pemkot di dermaga tersebut, tarif sewa perahu dari BKB ke Pulau Kemaro ini hanya
Kendala pengembangan tempat wisata ini tak sebatas pada infrastruktur, tetapi juga di dalam kawasan Pulau Kemaro pun belum dikelola optimal. Di sana hanya tersedia warung kecil yang menawarkan mi rebus dan minuman ringan. Tidak tersedia pula suvenir yang khas Pulau Kemaro. Padahal, banyak wisatawan yang sehabis berkunjung ke lokasi itu ingin membeli sejumlah barang yang nantinya dibawa ke tempat asal sebagai kenang-kenangan yang bersangkutan dari pulau pagoda Hok Tjing Bio tersebut.
”Akibatnya, Pulau Kemaro tidak mengalami perkembangan yang berarti. Sejak dulu sampai sekarang aktivitas pariwisata di sana hanya terpusat pada ritual keagamaan Cap Go Meh. Lalu, pada hari-hari biasa, Pulau Kemaro menjadi tempat wisata mati suri,” katanya.
Hal yang sama terjadi pada tempat belanja songket dan aneka suvenir di sentra industri Songket, Tangga Buntung. Warga dari luar Palembang yang berminat mengunjungi gerai songket ”Cek Ipah, Cek Dilah” dan gerai lain di kawasan Tangga Buntung terus menurun selama dua tahun terakhir.
Menurut Dilah, pemilik gerai songket, lonjakan transaksi tertinggi terjadi pada saat kegiatan tahun Kunjungan Musi 2008. Ketika program itu baru bergulir setengah tahun, omzet dari penjualan rata Rp 1,5 juta per hari.
”Saat itu posisi perajin songket di Tangga Buntung sangat bagus. Pembeli selalu datang ke gerai kami setiap hari, tetapi sejak tahun lalu jumlah pengunjung yang membeli sangat minim. Dalam seminggu belum tentu ada pembeli,” kata Dilah.
Zainal Arifin, pemilik Zainal Songket, berpendapat, pengusaha sebenarnya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah terkait dengan penurunan transaksi songket. Di sisi lin, para pengusaha di sentra industri Tanggap Buntung harus menerapkan strategi khusus untuk mengatasi stagnasi pemasaran songket.
Caranya bisa beragam, misalnya mengemas ulang strategi pemasaran sentra industri songket Tangga Buntung. Langkah itu hanya bisa dilakukan dengan cara menggalakkan promosi,
Pada dasarnya, pemegang kebijakan serta pelaku pariwisata perlu melakukan berbagai upaya untuk membenahi sektor pariwisata dalam menyambut kedatangan wisatawan mancanegara ke Palembang selama SEA
”Kalau semua tempat wisata di Palembang bisa membuat wisatawan merasa betah, dampaknya sangat positif, terutama semakin banyaknya uang yang dikeluarkan. Kemungkinan,” kata Rachman Zeth.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palembang Baharuddin Ali menambahkan, pembenahan dari lokasi pemasaran juga sedang dilakukan untuk tujuan lokasi wisata. Bahkan, akan disiapkan bangunan khusus untuk penjualan suvenir dan kuliner di Jakabaring. Warga Sumsel bisa memanfaatkan tempat itu untuk memasarkan produknya.
Namun, yang terpenting lagi pemerintah daerah perlu menyiapkan brosur yang berisi