Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warisan dari Tanah Babat

Kompas.com - 08/03/2011, 08:08 WIB

Oleh: Myrna Ratna

Dari kota Babat, Lamongan, Jawa Timur, penganan bernama wingko itu berawal. Dimulai sejak permulaan abad ke-20, ketika warga keturunan China memulainya lewat industri rumahan. Kini, generasi keempat masih meneruskan tradisi itu.

Di pertigaan menuju Tuban, berbeloklah sejenak ke arah Bojonegoro, melintasi jalan raya kota Babat. Anda akan melihat betapa wingko seperti menjadi ikon di kota ini. Di kiri-kanan sepanjang jalan raya yang lurus yang terbaca adalah tawaran mencicipi wingko.

Beberapa bangunan tua peninggalan masa kolonial terselip di antara toko dan warung. Seperti juga kotanya, wingko memiliki sejarah panjang di sini.

Di jalan raya nomor 189, toko Loe Lan Ing berada. Keantikan dan orisinalitas bangunan sepertinya tetap dipertahankan. Di pintu masuk, mata pasti akan tertumbuk pada tulisan besar yang berjudul ”Puisi Wingko”.

Suatu hari nanti/ Wingko jadi terkenal ke seluruh dunia. Seperti pizza dari Italia/ Suatu hari nanti/ Pembuat wingko Loe Lan Ing jadi ternama/ Seperti MacDonald/ Suatu hari nanti/ Wingko Loe Lan Ing jadi ternama/ Jadi makanan kecil/ Di pesawat Garuda Indonesia....

Loe Lan Ing (LLI) merupakan salah satu toko wingko tertua di kota Babat. Bahkan, kemasannya pun sampai hari ini tetap dibuat apa adanya, dasar putih dengan tulisan biru-merah, mengingatkan pada jajanan di tahun 1960-an.

Suasana di dapur LLI pun tak ubahnya dapur di masa lalu dengan perangkat yang serba-tradisional, mulai dari tungku adonan, oven pemanggang, sampai meja kayu untuk pemotongan. ”Dari dulu, ya, tetap seperti ini,” kata Kristiana (56), pengelola toko sekaligus generasi keempat dari keluarga Loe Lan Ing.

”Kalau ditanya sejak kapan kami membuat dan menjual wingko, wah, sudah lama sekali, itu sejak buyut saya. Saya tidak tahun pasti tahunnya, tapi bayangkan, ibu saya saja usianya sekarang sudah 90 tahun, dan dia adalah anak dari Loe Lan Ing,” kata Kristiana.

Kalaupun pada bungkus wingko tertulis bahwa izin perusahaan diberikan pada 19 Mei 1951, menurut Kristiana, itu hanya izin formal. ”Kalau membuatnya, ya, sudah sejak zaman Belanda, sejak orangtuanya Loe Lan Ing. Jadi sudah hampir seratus tahunlah,” lanjutnya.

Silsilah wingko

Tidak sedikit yang mengira wingko merupakan penganan asal Semarang karena makanan ini selalu menjadi oleh-oleh khas dari kota tersebut. ”Ooh, itu tidak betul,” kata Fivi Kusumo (Go Swie Nio), pemilik gerai wingko Kelapa Muda, Gondokusumo Hadi, di Jalan Raya Babat 262.

”Asalnya ya dari kota Babat ini. Yang menjalankan usaha wingko di Semarang itu masih keluarga kami juga. Dulu Loe Lan Ing memiliki saudara perempuan yang kemudian tinggal di Semarang dan membuat wingko di sana,” kata Fivi. Apalagi, jalur kereta api melintasi kota ini sehingga memudahkan penyebaran wingko sampai ke kota lain di Jawa.

Lewat Fivi-lah silsilah ”perwingkoan” di Babat ini bisa diuraikan. ”Wingko pertama kali dibuat di Babat. Yang membuat itu buyut saya, Loe Soe Siang,” kata Fivi.

Loe Soe Siang memiliki anak laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki adalah Loe Lan Ing yang menikah dengan Go Giaw Kiem. Dari pasangan ini, lahirlah anak laki-laki, Go Kok Hien, yang kemudian mengembangkan wingko bermerek Kelapa Muda. Fivi adalah anak dari Go Kok Hien. ”Ibu saya, Tan Kian Nio, kini berusia 92 tahun dan masih hidup,” kata Fivi.

Sedangkan anak Loe Lan Ing yang perempuan, Go Kiok Nio, tetap melanjutkan usahanya dengan merek Loe Lan Ing.

”Tapi, semua merek pada tahun itu harus pakai nama Indonesia. Jadilah kami menggunakan nama Gondokusumo Hadi, yang aslinya adalah Go Kok Hien,” tambah Fivi, yang menyebutkan bahwa izin perusahaan untuk Kelapa Muda diberikan pada 17 Desember 1971.

Meskipun bahan dasar wingko di mana pun sama, yaitu tepung ketan, kelapa muda, dan gula, dengan formula yang menjadi rahasia secara turun-temurun, wingko asal Babat ini memiliki rasa khas yang tak gampang ditiru. Rasa manisnya pas, lunak, dan tidak menempel di gigi. Karena tidak menggunakan bahan pengawet, penganan ini hanya tahan sekitar 6 hari.

Sejak beberapa tahun lalu, rasa wingko pun dibuat lebih beragam. Ada rasa cokelat, keju, durian, nangka, bahkan kopi. ”Kami hanya memenuhi permintaan konsumen yang ingin mencicipi rasa yang lebih bervariasi,” lanjut Fivi.

Di kota Babat, wingko sudah menjadi bagian dari keseharian. bahkan di desa-desa pun wingko sudah menjadi industri rumahan. Karena itu, tak mengherankan bila warung-warung kaki lima yang berjualan wingko menggelar dagangannya di depan toko wingko, sementara para pedagang asongan juga menjajakan dagangan wingkonya di depan pintu masuk. Inilah warisan kota Babat yang tetap langgeng.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com