Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Topeng Monyet dan Ketegangan Sosial

Kompas.com - 12/03/2011, 03:59 WIB

Ayo Sarimin bersolek dulu.” Maka si kera yang mengenakan rok dan blus itu dengan cepat mengambil kaca hias dan menempelkannya di wajah. Tangannya lalu meraih sebuah benda dan dioleskan ke bibir, seolah mewarnai bibirnya dengan gincu.

Kemudian, si pawang memberi aba-aba agar si monyet yang berdandan perempuan tetapi diberi nama Sarimin itu bersiap pergi ke pasar. ”Sarimin” pun dengan cepat mengambil keranjang dan berjalan berputar-putar.

Kenapa dalam lakon topeng monyet jalan ceritanya selalu pergi ke pasar dan nama tokohnya juga pasti Sarimin? ”Oh bisa aja tokoh monyet kami ganti pakai setelan jas, pakai peci, kemudian kita lakonkan Sarimin mau pergi ke istananya Pak SBY. Gampang itu, tinggal melatih sedikit. Namun, di samping tidak lazim, kok kayaknya jauh di awang ya. Yang ringan- ringan sajalah. Tidak usah masuk politik,” kata Hari Deker (29), pelaku topeng monyet yang ditemui Kompas ketika sedang mengamen di perempatan lampu merah Gejayan, Condongcatur, Yogyakarta.

Topeng monyet mengamen di perempatan lampu merah memang gejala baru di Yogya. Tidak lagi sekadar di kampung- kampung, di pojok-pojok dusun, di bawah pohon beringin desa, atau di tempat orang hajatan. ”Persoalannya sederhana saja kok. Kalau kami harus jalan keliling ke kampung-kampung, banyak menguras tenaga. Namun kalau di perempatan lampu merah cukup berdiam di satu tempat, hasilnya juga lebih lumayan,” kata Hari.

Mengamen di perempatan lampu merah dianggap Hari sebagai perluasan area kerja, meski kerinduannya untuk memainkan topeng monyet secara lengkap dengan kisah ceritanya tetap masih ada, dan itu hanya bisa dilakukan di kampung- kampung.

Di perempatan lampu merah, praktis Hari yang ditemani rekannya, Ipang Setiadi (25), hanya menarikan monyet secara instan, selama lampu merah menyala. Tidak ada narasi atau dialog-dialog seperti kalau pentas di kampung-kampung.

Alternatif

Tampaknya, apa yang dilakukan Hari dan Ipang tak sekadar perluasan area kerja. Ini juga merupakan refleksi dari kejenuhan warga kampung yang memang berada dalam ketegangan sosial akibat tindihan ekonomi. Bukan berarti warga desa tidak lagi memiliki uang Rp 500-Rp 1.000 untuk membayar topeng monyet, tetapi uang senilai itu cukup jadi problem ketika mereka harus berpikir tentang hari esok. Ini yang memaksa Hari harus mencari pasar alternatif.

Yuningsih, yang dikenal dengan Mbok Beruk, seniman ketoprak keliling kawakan yang kini tinggal di Yogyakarta, bisa memberikan pembenaran persoalan itu.

”Dulu pada tahun 1970 sampai 1980-an, di desa-desa yang habis panen padi pasti nanggap pentas ketoprak. Desa-desa yang kaya atau daerah subur setiap panen bisa nanggap pentas ketoprak sampai dua hingga tiga kali, bergiliran dari tingkat rumah tangga atau antarpribadi,” katanya.

Sekarang, bagi Yu Beruk hal itu tidak dirasakan lagi. Bahkan kesenian ketoprak juga kehilangan kejayaannya. ”Boro-boro nanggap kesenian atau ketoprak, hasil padi bisa untuk membayar sekolah anak saja sudah bahagia. Mana ada lagi daerah subur. Wong padi selalu kena wereng?” katanya.

Dalam pengertian lebih luas, apa yang diungkapkan Yu Beruk mengandaikan bahwa kesenian (tradisi) melekat dalam diri masyarakat desa. Dalam situasi nyaman dan aman, di situlah masyarakat berkeinginan mencipta dan mendapatkan penghiburan.

”Situasi tegang dalam masyarakat, tak mungkin sebuah seni tradisi bisa hidup. Karena itu, kesejahteraan rakyat perlu diupayakan,” ujar Nano Asmorodono, yang hidup sebagai sutradara ketoprak di Yogyakarta.

Dalam rumusan ekstrem, bagi warga desa kesenian itu bukan untuk mencari uang. Justru ketika memiliki uang mereka menggunakan untuk membangun dan menghidupkan kesenian. Artinya, sebuah seni tradisi itu muncul dan tercipta karena kerinduan akan penghiburan dari warga masyarakat, bukan untuk mencari uang.

Kenyataan itulah yang terlihat jelas dalam semangat wayang orang Tjipto Budoyo milik keluarga Sitras Anjilin yang hidup puluhan tahun di lereng Gunung Merapi, Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.

Grup kesenian itu milik keluarga petani sayur-mayur. Bukan berarti mereka keluarga kaya, ketekunan membina sejak dari leluhur mereka, turun temurun. Ya, dari sayur-mayur itu mereka membeli perlengkapan pakaian wayang, setting panggung, dan lainnya. Bahkan gedung pementasan sederhana dibangun di pelataran rumah.

Namun, seiring menurunnya kondisi perekonomian rakyat, seni tradisi, seperti ketoprak dan wayang wong, tidak bisa lagi mengandalkan hidup dari usaha tobong atau tanggapan di desa- desa seperti dulu lagi. ”Ya kami harus mencari siasat agar ketoprak tetap bisa berkembang,” kata Nano.

Salah satu yang ditempuh adalah mendekatkan seni ketoprak kepada siapa saja, ke instansi pemerintah maupun swasta. (Th Pudjo Widijanto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com