”Kalau sudah berkumpul dengan keluarga, rasanya damai dan tenang,” tutur Zulkifli. Ipeng bahkan sejak sepekan sebelum pulang telah membayangkan berada di tengah-tengah keluarga. Mereka pulang naik pesawat lewat Bandara Polonia, Medan, dan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari Bandara Soekarno-Hatta, rombongan pedagang akan naik bus ke Banjarnegara.
Kepulangan itu dibiayai oleh Sultoni (25). Sultoni membelikan tiket pesawat Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per orang, pergi-pulang. Ia juga menyewa bus Rp 6 juta per bus yang membawa para pedagang dari Bandara Soekarno-Hatta ke Banjarnegara dan memberi uang saku Rp 100.000 per orang.
Menurut Sultoni, setiap penjual dawet membawa uang Rp 4 juta-Rp 5 juta. Zulkifli bahkan menyiapkan tabungan khusus untuk memperlebar tanahnya di kampung.
Banyak versi cerita yang berkembang perihal asal-usul dawet ayu. Ahmad Tohari, misalnya, mengatakan, dawet ayu sudah ada sejak awal abad ke-20. ”Waktu saya kecil, saya sudah diajak membeli dawet ayu di pasar. Ibu saya juga sering buat,” katanya.
Berdasarkan cerita yang berkembang, dulu ada sebuah keluarga yang memperkenalkan minuman khas yang kemudian disebut dawet. Pada generasi ketiga pedagangnya ayu sehingga muncul sebutan dawet ayu. Generasi ketiga itu muncul saat Tohari masih kecil.