Perjalanan ini sebuah refleksi apa sih itu garis batas? Apa sih benang merah yang mengabungkan negara-negara itu dan identitas mereka.
Kalau di buku “Garis Batas” saya menulis tentang nasionalisme. Asia Tengah ini negara-negara hasil penjajahan dan sedang membangun nasionalisme. Karena seperti kita ketahui, negara di Asia Tengah ini adalah bentukan bangsa penjajah. Mereka dibangun dari penjajahan, ini ada kemiripan dengan sejarah kita, negara hasil penjajahan. Bagaimana negara yang batas-batasnya dibuat penjajah, negara yang dibangun dari penjajahan, lalu harus mengalami nasionalisme yang harus dibuat dulu.
Indonesia dan Malaysia itu pun garis-garis batasnya dibuat oleh penjajah. Jadi, ini ada kemiripan dengan kita. Tapi bagaimana negara-negara di Asia Tengah ini bisa membangun nasionalismenya, dari sana saya ingin belajar.
Sepanjang perjalanannya, Agustinus tidak hanya mengumuli aspek kultural sebuah bangsa, ia juga menggumuli kemanusiaan. Ia menjadi relawan di beberapa tempat.Ia berkisah tentang sosok-sosok kelam dan terpinggirkan dari antah berantah. Garis batas bagi Agustinus bukan hanya bermakna teritorial. Lebih dari itu, garis batas yang membentuk identitas manusia. Ia mendobrak garis-garis batas yang tak kasat mata, mulai dari garis batas agama hingga bahasa.
Kamu sebagai Agustinus kan juga berada dalam garis batas dirimu. Bagaimana pergulatannya?
Perjalanan saya adalah proses menembus garis batas, menembus pengkotakan-kotakan. Ada orang yang melakukan perjalanan tapi tidak melepas pengkotakan yang ada. Ada orang yang misalnya selalu banding-bandingkan. Dia sebenarnya tidak lepas dari kotak dia. Masih terkurung dalam garis batas yang invisible. Perjalanan ini bukan hanya garis batas teritorial yang ditembus, tapi juga garis batas kultur, garis batas agama, garus batas ras. Semua garis batas ditembus.
Saya non muslim, tapi saya tidak apa-apa belajar di Masjid dengan seorang Imam. Atau ke gereja belajar dengan Pastor. Itu kan proses menembus garis batas saya. Saya belajar bahasa asing, itu kan menembus batas dari bahasa Indonesia ke kultur asing. Saya makan apapun. Itu juga menembus garis batas. Kita bisa membuat garis batas itu semakin kuat atau bisa juga membuat garis batas itu semakin hilang. Semakin kita berjalan itu, semakin terjadi proses peleburan garis batas.
Garis batas itu menurut saya kodrat. Karena memang Tuhan menciptakan kita penuh warna. Kalau kita tidak ada batas sama sekali, kita jadi masyarakat yang homogen, semua pikiran sama. Tapi, kalau kita lihat garis batas itu ke identitas, ada kebanggaan. Misalnya saya orang surabaya, kita punya rujak cingur. Tentu kita tidak makan setiap hari rujak cingur. Tapi itu satu kebanggaan kita, identitas kita. Kita punya tari-tarian tradisional atau lagu-lagu daerah. Tentu tidak setiap hari kita tarikan atau nyanyikan. Tapi itu bagian dari kita, identitas kita.
Itu tergantung bagimana kita memandang garis batas. Garis batas memang harus ada, sebagai manusia harus punya identitas. Kalau tanpa identitas itu seperti manusia tanpa akar. Seperti manusia tanpa masa lalunya. Tidak ada ceritanya karena itu sesuatu yang memperkaya kita. Tapi di satu sisi lain ada yang kebanggaannya terlalu berlebihan, garis batasnya terlalu berlebihan, yang mengukung dia. Ini yang membuat tragedi kemanusiaan, perang hanya atas nama kemanusiaan.
Tidak semua orang menaruh posisi agama di paling atas. Di negara-negara di Asia Tengah kenyataannya begitu. Karena konteks keagamaan terputus akibat penjajahanj Uni Soviet. Selama 70 tahun terputus dengan agama Islam.
Jadi agama tidak lagi posisi paling tinggi. Yang paling kuat itu konsep negara. Etnis, itu yang penting. Karena mereka kalau isi form tulisnya etnis, beda di kita tulisnya agama. Mereka negara kebangsaan. Misalnya negara Uzbekistan untuk bangsa Uzbek. Tapi masalahnyn saat Uni Soviet membuat garis-garis batas, itu kan orangnya campur-campur. Kan tidak mungkin di dalam perbatasan isinya 100 persen orang Uzbek, jadi pasti campur-campur. Nah, minoritas satu hal yang saya angkat juga di buku.