Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Konsep Pejalan Kaki di Bukittinggi

Kompas.com - 22/11/2011, 03:46 WIB

Kota Bukittinggi adalah tujuan wisata paling utama di Sumatera Barat. Angka kunjungan makin melonjak saat akhir pekan dengan Jam Gadang sebagai pusat atraksi utama.

Namun, hingga kini, penataan pariwisata di kawasan itu belum juga berhasil. Pedagang kaki lima berbaur dengan pengunjung, memenuhi ruang terbuka hijau yang diperbesar di sekitar Jam Gadang.

Hal itu terutama terjadi pada Sabtu dan Minggu malam. Relatif tidak adanya pungutan untuk berjualan menjadi pilihan banyak pedagang menggelar barang-barang dagangan.

Pasangan Mila (25) dan Dani (28) adalah beberapa di antara sekian banyak pedagang yang memilih berjualan di kawasan Jam Gadang. Mila mengatakan, biasanya ia berjualan pada pukul 18.00-24.00 dengan omzet sekitar Rp 500.000.

Dari jumlah tersebut, sekitar 20 persen merupakan keuntungannya. ”Jika menyewa lapak kaki lima di depan pasar pada siang hari, biaya sewanya mencapai Rp 15 juta per tahun,” ujar Mila. Bahkan, jika menyewa toko bisa lebih mahal lagi, yakni sekitar Rp 40 juta per tahun. ”Ya, berjualan di dalam (pasar) lebih mahal,” kata Dani meyakinkan.

Pada siang hari, Mila bekerja sebagai pegawai salah satu toko pakaian dengan upah Rp 25.000 per hari. Baju-baju dengan harga sekitar Rp 40.000 per potong menjadi barang dagangannya.

Parkir

Beragam pedagang kaki lima menyesaki kawasan itu, dari pedagang pakaian, makanan, aneka aksesori, hingga pembuat lukisan dan tato.

Yang juga mendesak untuk dibenahi adalah semrawutnya pengaturan parkir kendaraan bermotor di sekelilingnya. Tukang parkir di kawasan ini menarik biaya jasa Rp 3.000 per kendaraan bermotor tanpa dilengkapi selembar pun karcis.

Padahal, kendaraan bermotor yang memanfaatkan jasa parkir di sana membeludak. Bahkan, tak jarang terjadi dua kali penarikan ongkos parkir oleh dua petugas berbeda, yakni pada saat kendaraan masuk area parkir dan saat keluar.

”Memang tidak pernah ada karcis. Jika parkir pakai karcis, itu adanya di Plaza Bukittinggi,” kata Afrizal (20), salah seorang juru parkir.

Dalam semalam, Afrizal bisa mengantongi bagian hingga Rp 30.000 dari jasa parkir yang diberikan. ”Itu yang saya dapat setelah saya setor. Parkir hanya ramai pada malam Minggu. Jadi, hari lain saya tidak kerja sebagai tukang parkir,” katanya.

Joni Supriyadi (48), pengunjung di kawasan wisata tersebut, yang ditemui Kompas beberapa waktu lalu, mengaku kecewa terhadap pengaturan parkir yang terkesan seenaknya ini. Padahal, kata Joni, dia rutin mengunjungi kawasan Jam Gadang beserta anggota keluarganya setiap akhir pekan. ”Ya, hendaknya parkir ini diperbaiki karena mengganggu kenyamanan,” katanya.

Pejalan kaki

Sekalipun dianggap tidak terlalu berpengaruh terhadap struktur bangunan Jam Gadang, dosen Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta, Padang, Jonny Wongso, mengatakan, sesungguhnya bukan seperti itu rencana pengelolaan Jam Gadang. ”Konsepnya itu pedestrian city, dengan lokasi parkir yang berada jauh di luar kawasan Jam Gadang. Tapi, entah mengapa sampai kini belum terlaksana,” katanya.

Dengan konsep itu, Jam Gadang dan kawasan di sekitarnya diharapkan jadi lokasi ideal bagi wisatawan yang ingin berjalan kaki dan menikmati keindahan alam berikut sejumlah bangunan bersejarah di sekitarnya, misalnya Goa Jepang, Taman Monumen Bung Hatta, dan Museum Perjuangan Tri Daya Eka Dharma.

Jonny adalah salah seorang anggota Badan Pelestarian Pusaka Indonesia yang bersama Kedutaan Besar Kerajaan Belandaberat—lewat program Share Heritage Fund dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar—merehabilitasi Jam Gadang pada pertengahan tahun lalu.

Rehabilitasi itulah yang memastikan bahwa struktur bangunan Jam Gadang rancangan arsitek bernama Yazid Abidin atau Angku Acik yang berasal dari Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, telah menggunakan besi penyangga. Sebelumnya, dalam berbagai keterangan resmi Pemerintah Kota Bukittinggi soal Jam Gadang, disebutkan bahwa bangunan itu hanya didirikan tanpa besi penyangga dan adukan semen, tetapi dengan campuran kapur, putih telur, dan pasir putih.

”Ya, ternyata Jam Gadang sudah pakai besi penyangga dan juga sudah pakai semen. Satu masa dengan era pembangunan rel kereta api dan baru mulai dihasilkannya semen. Karena itulah, kita lihat kandungan kapurnya sangat bagus,” tutur Jonny.

PT Semen Padang didirikan pada tahun 1910 dengan nama NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij.

Jam Gadang dengan mesin jam merek B Vortmann yang dibuat di Recklinghausen, sebuah kota di bagian utara Jerman, pada tahun 1926 itu adalah hadiah Ratu Wilhelmina dari Belanda kepada Sekretaris Kota Bukittinggi. Saat itu, jam tersebut diangkut dari Rotterdam, Belanda, menuju Pelabuhan Teluk Bayur, Kota Padang.

Selama itu pula, kubah atapnya mengalami tiga kali pergantian. Pertama, bentuknya lonjong selayaknya peluru. Ini bentuk lazim pada kubah gereja yang dipengaruhi arsitektur Byzantium pada abad IV-XV dan terimbas sentuhan renaisans pada abad XV-XIX yang disebut cupola (koepel) yang juga mirip pucuk lentera.

Saat pendudukan Jepang, kubah atapnya berubah menjadi serupa dengan bentuk atap yang lazim ditemukan pada kuil-kuil di Jepang. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, kubahnya diubah hingga kini menjadi bentuk atap bagonjong empat dengan motif pucuk rebung yang khas tempat tinggal di Minangkabau.

Namun, kawasan Jam Gadang belum kunjung ideal sebagai lokasi kunjungan wisata. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bukittinggi Syafnil mengatakan, sejauh ini belum ada solusi untuk menata pedagang kaki lima yang menyemuti kawasan Jam Gadang. ”Yang dilakukan hanya beberapa kali razia tanpa diketahui ke mana para pedagang itu mesti dipindahkan,” katanya.

Mengenai pengelolaan parkir, ia mengatakan, Pemerintah Kota Bukittinggi juga menghadapi kesulitan. ”Berdasarkan ketentuan, pengelolaan parkir tidak boleh dilakukan pihak ketiga. Sementara pegawai kita terbatas dan juga tidak diperbolehkan menambah pegawai baru. Akhirnya, yang terjadi praktik pengelolaan parkir di bawah tangan,” Syafnil menambahkan.

Sesungguhnya, lanjut Syafnil, sejumlah tukang parkir dibekali karcis parkir dengan tarif resmi Rp 2.000 per kendaraan bermotor.

”Tapi, itulah jika tidak diawasi, tarifnya dinaikkan sendiri dan tidak ada karcis,” ujarnya.

(INGKI RINALDI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com