Meski menangani wilayah Asia Pasifik, termasuk Indonesia, AJ lebih banyak tinggal di Singapura. Makanya, AJ mengaku belum memunyai pengetahuan mendalam soal batik.
Hal sebaliknya, dialami Robert Fletcher. Ia sudah lima tahunan tinggal di Indonesia. "Saya memakai batik kalau ada pertemuan-pertemuan seperti ini," kata pria yang akrab dipanggil Rob tersebut.
Boleh dibilang, pengakuan UNESCO itu benar-benar membawa berkah. Catatan saat World Batik Summit 2011 di Jakarta Convention Center pada 28 September hingga 2 Oktober tahun lalu menunjukkan kalau penjualan batik terkait sektor pariwisata menembus angka Rp 1 triliun. Menteri Kebudayaan Pariwisata waktu itu, Jero Wacik, mengakui angka tersebut.
Namun, berangkat dari obrolan ringan di atas, banyak wisatawan asing alias turis bule masih belum banyak memiliki pengetahuan memadai soal batik. Dengan kata lain, acap, batik menjadi kawasan antah-berantah.
Paling simpel, bagai kebanyakan orang asing macam AJ, begitu beragam motif batik. Namun, mereka tak tahu, bahkan, nama, asal-usul, hingga orisinalitas pewarnaan.
Tak hanya itu, batik, bagi sementara kalangan turis mancanegara yang benar-benar awam, makin menjadi ruang teramat luas gara-gara kain bermotif batik atau yang lazim dikenal sebagai batik printing bermunculan di mana-mana. Dominasi industrialisasi, baik lokal maupun asing, membuat batik justru mendapat pesaing dari dunia pertekstilan. "Batik printing bukan batik," tegas pelaku usaha Batik Handayani asal Desa Beluk, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, T.S. Goenarto.
Cerita
Beragamnya motif batik memang berangkat dari kekayaan lokal. Biasanya, kekayaan berikut keanekaragaman yang dekat dengan para pembatik itu sendiri. Menurut Goenarto, beberapa motif batik tulis seperti Ganggang Kukup, Iwak Rowo, Teratai Jombor, Kipas Pandanaran, dan Jagad Mbogem, berasal dari lokasi pariwisata di kawasan Kecamatan Bayat.
Motif Iwak Rowo dan Teratai Jombor asal-muasalnya dari ikan dan teratai yang berada di Rawa Jombor. Rawa tersebut menjadi lokasi pariwisata setempat.
Hal sama juga terdapat pada motif Kipas Pandanaran. Pembatik melukiskan kebiasaan pedagang kipas yang menjajakan barang dagangannya di kompleks makam Ki Ageng Pandanaran, masih di Kecamatan Bayat.
Bayangkan, andai wisatawan mancanegara yang berniat membeli kain batik tersebut tidak memperoleh informasi memadai soal motif pada kain tersebut! Yang terjadi adalah kondisi bak membeli kucing dalam karung. Meski, kualitas kain dan pewarnaan batik tulis bersangkutan termasuk bagus.
Maka dari itulah, kebutuhan akan pentingnya sepotong informasi soal motif tersebut lama-kelamaan makin mendesak. "Turis asing memang suka bertanya soal kisah motif batik yang akan mereka beli," kata Direktur Rumah Batik dan Kerajinan Indonesia Pendopo Meutia Kumala dalam kesempatan wawancara beberapa waktu lalu.
Meutia, lebih lanjut, menyambut baik adanya sebentuk penjelasan yang tertempel pada label yang disertakan di tiap lembar kain batik tulis. Dengan cara itu, ada cerita yang bisa memberikan penjelasan kepada turis mencanegara, khususnya. Menjadi lebih baik kalau penjelasan dibuat juga dalam Bahasa Inggris. Sehingga, kolaborasi antara motif batik dengan cerita soal motif batik akan klop rasanya dengan pemeo "makin kenal makin makin sayang".
Selanjutnya, dalam pengamatan Meutia, turis asing juga memerlukan semacam jaminan soal orisinalitas pewarnaan batik. Menurutnya, bahkan sampai kini, tak cuma orang asing yang acap terkecoh pada tampilan warna batik. Pewarnaan batik dengan bahan alami seperti kulit mahoni, rempah-rempah, kulit buah manggis, dan lain sebagainya justru terlihat kusam dan tak bercahaya.
Sebaliknya, pewarnaan batik dengan bahan kimia menampilkan warna yang cenderung tampak cerah. "Masih banyak yang menganggap kalau yang tampilannya kusam justru tidak asli," kata Marketing Director Omnimedia Citraglobal Yenny N Petrus yang berkecimpung dalam bisnis suvenir, termasuk batik.