Masnah, peranakan Tionghoa kelahiran Banten Lama, dekat kelenteng Avalokiteswara, dari pasangan Tionghoa dan Jawa itu, mulai berkiprah sebagai penyanyi gambang keromong dan penari cokek pada usia 14 tahun.
”Awalnya, gara-gara ditinggal mati suami dan anak. Ditinggal orangtua pasti sedih. Kehilangan suami dan anak bisa hilang akal. Kalau ada yang ngajak nyanyi atau menari, ya (saya) ngikut,” ujar Masnah saat masih segar dalam film dokumenter Anak Naga Beranak Naga tahun 2006.
Dalam film itu, ia menceritakan keterlibatannya menjadi penyanyi dan penari gambang keromong. Dia juga membintangi film dokumenter lainnya, Dua Perempuan.
Ketika ditemui pekan lalu, Masnah tersengal-sengal saat berbicara dan telinganya tak lagi tajam mendengar. Dia berkali-kali menghela napas dan setengah berteriak saat berusaha berbicara. Berjalan jauh pun ia susah karena kedua kakinya sudah lemah.
Pada masa silam, sebagai primadona gambang keromong, Masnah bebas mengikuti kelompok mana pun yang mau menanggapnya. Berbeda dengan situasi kini yang mengharuskan sinden punya kelompok gambang keromong sendiri.
Kini, seorang sinden bisa bermain dengan kelompok lain, tetapi syaratnya sedang tidak ada permintaan pentas yang ditangani grup gambang keromong yang menaunginya. Dulu, pada masa jaya, Masnah menjadi bintang panggung di pekalangan (acara hajatan), pernikahan, ulang tahun, dan pelbagai acara masyarakat lainnya.
Bisa menyanyi bersama grup gambang keromong yang laris ditanggap memang menyenangkan. Sauw Ong Kian, pemimpin grup Sinar Gemilang, tempat Masnah terakhir kali bergabung, menceritakan, uang sawer dari pertunjukan dikumpulkan dan bisa memenuhi kotak gambang.