Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merapi yang Selalu Menghidupi

Kompas.com - 24/02/2012, 10:08 WIB

Oleh Aryo Wisanggeni Genthong dan Aloysius B Kurniawan

Tanaman mulai bersemi, tetapi jejak kehancuran letusan Merapi, Oktober 2010, belum sepenuhnya sirna. Sisa-sisa rumah terbakar, aspal yang hilang separuh, serta pasir dan bebatuan yang menyelimuti seperti monumen kematian.

Bagi warga Kinahrejo, jejak kehancuran itu menjadi modal hidup baru. Di dusun itu, petilasan rumah Mbah Maridjan menyisakan beberapa umpak batu penyangga tiang yang dikelilingi tali. Kerangka sepeda motor dan mobil bekas terpanggang awan panas dibiarkan teronggok. Sebuah baliho cetakan digital terpampang di sana, mengurai kronologi erupsi 26 Oktober 2010 yang menewaskan Mbah Maridjan dan 34 orang lain. Beberapa orang berfoto di depan petilasan itu, sebagian lain turun ke lembah Kali Opak dan Kali Gendol di belakang bekas rumah Mbah Maridjan.

Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang bertahan di rumahnya saat awan panas menerjang, ditemukan meninggal. Kematiannya menjadi tragedi dan semakin memopulerkan sosok yang tak pernah mau mengungsi setiap Merapi meletus ini.

Setelah kematiannya, kisah Mbah Maridjan menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk datang. Persis di depan bekas rumah juru kunci itu, warung makan dan kios cendera mata yang menjual kaus, mug, dan pernak-pernik diserbu pelancong. Kebanyakan cendera mata itu menggunakan Mbah Maridjan dan Merapi sebagai ikon.

Janda Mbah Maridjan, Ponirah (78), dan anaknya, Asih (45), mengelola warung itu. ”Barang ini titipan banyak orang. Ada yang buatan warga Kinahrejo, ada pula yang titipan pedagang dari luar. Wisata di Kinahrejo selalu ramai, apalagi hari Minggu,” kata Ponirah tersenyum.

Sebelum letusan Merapi pada 2006, Kinahrejo adalah dusun kecil di kaki Merapi yang hanya dikenali komunitas pendaki gunung. ”Dulu yang datang ke Kinahrejo, ya, orang yang mau mendaki Gunung Merapi,” ujar Ponirah. ”Mereka biasanya mampir di rumah Mbah, mengisi buku tamu, jumlah pendaki, berikut rencana pendakian mereka.”

Pasca-letusan Merapi 2010, Kinahrejo dan delapan dusun lain di Desa Umbulharjo, Kepuharjo, dan Glagaharjo, luluh lantak. Ribuan rumah hancur, tanaman di kaki selatan Merapi lenyap tertimbun material letusan Merapi. Di balik kehancuran itu ada berkah. Sejak pemerintah menurunkan status bahaya Merapi yang diikuti pembukaan kawasan itu untuk publik, ribuan orang berbondong-bondong datang. Mereka penasaran melihat dari dekat jejak letusan gunung.

”Orang ingin tahu seperti apa rumah Mbah Maridjan dan bagaimana kondisi dusun kami,” kata Asih. ”Daripada nasib kami menjadi tontonan, lebih baik kami sekalian menyediakan tontonan. Itulah ide awal Lava Tour Merapi.”

”Wisata bencana”

Lava Tour Merapi adalah paket wisata mengelilingi tapak bencana, semacam napak tilas kondisi kawasan ini sebelum terjadi letusan Merapi 2010. Wisata ini digagas korban bencana Merapi. Mereka menawarkan motor trail sewaan. Dengan paket termurah, Rp 50.000, motor trail bisa dikebut menuju lapangan kecil di bawah rumah Mbah Maridjan. Pengunjung yang mau merogoh kocek lebih dalam boleh memacu motor trail hingga Kali Adem untuk melihat pasir dan bebatuan yang dimuntahkan Merapi.

Perjalanan ”offroader dadakan” dengan jip bisa dipilih bagi keluarga yang ingin mengunjungi dusun lebih jauh, seperti Petung atau Kaliadem yang tertimbun muntahan Merapi.

Yang malas merogoh banyak uang sekaligus malas berjalan kaki bisa memilih ojek berongkos Rp 20.000 yang akan mengantar pengunjung naik dari perbatasan Dusun Pelemsari-Dusun Pangukrejo menuju rumah Mbah Maridjan. Tarif ojek dan offroad dengan jip ini sudah dengan bonus kisah tentang bagaimana bencana itu terjadi, juga tentang ”drama” kematian Mbah Maridjan.

Di pertigaan jalan teratas Dusun Pelemsari, papan peringatan bahaya awan panas yang seharusnya membuat orang menyingkir pergi justru menambah minat orang datang dan berfoto. Hamzah (60) dan putrinya, Verawati, gantian berfoto bersama di tapak bencana.

Daliman (40), warga Dusun Pangukrejo yang menjadi pemandu wisata, menunggu keduanya selesai berfoto. Lalu ia menunjuk ke arah timur, ke dataran lebih rendah. ”Itu rumah Mbah Maridjan,” kata Daliman. ”Letusan Merapi 2010 memang besar, mengubur tiga dusun.”

”Itu dulu rumah semua?” Hamzah terperangah, kepalanya menggeleng pelan, lalu terdiam mencoba mencerna kata-kata Daliman.

”Ada lapangan, ada rumah.” Daliman menunjuk ke arah yang lebih jauh. ”Yang warna hitam itu satu kampung di Kali Adem, hancur.”

”Dari kawah itu?”

”Iya, dari kawah Merapi. Yang paling parah Desa Glagaharjo, di sebelah timur Sungai Gendol, karena tertimbun material panas,” Daliman lancar berkisah tentang kampungnya yang telah musnah.

Bagi Hamzah, ini kali pertama menginjakkan kaki di pedukuhan Kinahrejo, Dusun Pelemsari, Cangkringan, Sleman. ”Saya dari Kisaran, Sumatera Utara. Kebetulan sedang menengok anak di Bandung dan akhirnya ingin mampir ke sini,” katanya.

Segala kisah hidup, kontroversi, dan mitos tentang almarhum Mbah Maridjan adalah magnet yang menghidupi korban bencana yang selamat. (Agung Setyahadi/Indira Permanasari/Ahmad Arif)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com