Batam, Kompas -
Komandan Pangkalan TNI AL Batam Kolonel Laut Nurhidayat mengatakan, mereka naik perahu selebar 2 meter dan panjang 10 meter. Mereka dicegat di tengah laut oleh satuan patroli TNI AL.
”Mereka sempat mencoba melarikan diri sebelum akhirnya kami berhentikan,” kata Nurhidayat di Batam.
Perahu itu diawaki dua WNI, Toni dan Yudi. Perahu diisi lima imigran asal Banglades dan sembilan asal Myanmar. Tak seorang pun dari mereka bisa menunjukkan paspor yang sah. ”Sementara kami mintai keterangan terlebih dahulu. Setelah itu, akan diserahkan kepada imigrasi,” ujarnya.
Toni mengaku mendapat upah Rp 1,5 juta. Upah dijanjikan oleh seseorang bernama Andreas dan baru dibayar separuh. Ia diminta membawa para imigran itu dari Sungai Rengit, Malaysia, menuju Teluk Mata Ikan, kawasan Nongsa, Batam. Padahal, teluk itu bukan terminal resmi untuk lalu lintas orang antarnegara.
Pengakuan Toni bertentangan dengan keterangan para imigran. Imigran asal Banglades, Rashid, mengaku membayar 500 ringgit per orang untuk masuk Batam. Mereka dijanjikan masuk Batam dan bisa mencari kerja. ”Kami tidak punya paspor lagi. Sudah tidak berlaku sejak kami di Malaysia,” tuturnya.
Berdasarkan catatan
Sementara itu, pelaku penyelundupan imigran gelap dari pantai selatan Jawa Barat menuju Australia diduga menggunakan modus baru. Jika sebelumnya hanya menggunakan perahu kayu berbobot mati 10 ton milik nelayan setempat, pelakunya kini mencoba ke Australia menggunakan kapal berbobot mati 30 ton.
”Keberadaan kapal 30 ton itu sudah terendus sejak beberapa hari lalu. Kapal itu buang sauh 2 mil dari pantai. Apakah cara ini modus baru atau bukan, kami sedang memeriksa lebih lanjut,” kata Kapolres Garut Ajun Komisaris Besar Enjang Hasan Kurnia.
Polres Garut menggagalkan pemberangkatan 67 imigran gelap asal Palestina di pantai Desa Cisancang, Kecamatan Cibalong, Garut, Selasa (6/3) dini hari.
Dalam lima bulan terakhir, pantai selatan Jawa Barat tiga kali dipakai untuk memberangkatkan imigran gelap.