Oleh Aryo Wisanggeni G dan Samuel Oktora
Kuku-kuku jari tangan perempuan asal Desa Dokar, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, itu masih berwarna biru pekat oleh cairan pewarna benang tenun ikat. ”Beginilah tangan penenun,” ujar Kristina Laer (54). Dari tangan itu lahir kain tenun nan indah.
Kuku-kuku jari Kristina menghitam karena ia baru saja merendam benang dalam larutan daun tarum dicampur kapur. Di Pasar Geliting, Desa Sikka, Kabupaten Sikka, Kristina sebenarnya berjualan pisang dan labu. Namun, seperti perempuan NTT pada umumnya, ia sehari-harinya menenun sarung untuk kebutuhan sendiri.
”Pasar dadakan” pada Sabtu siang itu menunjukkan kekayaan sarung Flores, mulai dari pemakainya sampai ragam motifnya. Pembeli dan pedagang memakai sarung tenun ikat yang apik. Ada yang disampirkan di bahu, diikatkan di pinggang, hingga menjadi tudung untuk menyembunyikan wajah pemakainya. Bahkan, ada sarung tenun ikat bermotif logo perusahaan otomotif.
”Kami masih menenun motif tradisional yang diwariskan nenek moyang, baik dengan pewarnaan tradisional yang pengerjaannya memakan waktu lama, maupun pewarnaan kimia yang praktis. Namun, semakin banyak pula penenun di Desa Sikka yang menggarap pesanan motif tertentu. Mau pesan sarung tenun ikat bertuliskan nama pemesan pun bisa,” ujar Alexa (40), penenun dari desa itu.
Desakan ekonomi memang membuat para penenun tidak bisa melepaskan diri dari permintaan pasar meski masih ada yang mempertahankan unsur tradisional. Penenun asal Desa Nita, Sebina Keron (68), misalnya, menyebut sejumlah motif tradisional yang masih banyak digarap penenun di Kabupaten Sikka, seperti korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan sesaweor (ekor ikan sesa), atau lawa jara (motif kuda dan penunggangnya).
”Di Desa Nita, kami masih mewarnai benang tenun ikat dengan pewarna alam. Campuran mangga dan kunyit untuk warna hijau, tumbukan daun nila untuk warna biru, tumbukan mengkudu untuk warna merah. Prosesnya memakan waktu bulanan dan tingkat kepekatan warna diperoleh dengan mencelup ulang benang hingga beberapa kali,” ujar Sebina.
Penenun di Kabupaten Ende pun masih mempertahankan sejumlah motif tradisional mereka seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), lawo zombo/ rombo (motif pepohonan lambang kehidupan), dan lawo nepa mite di Nggela yang bermotifkan ular.
Di Kampung Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende, desakan ekonomi pula yang membuat banyak penenun meninggalkan penggunaan pewarna alami. Sarung berbahan pewarna kimia yang penggarapannya bisa dikebut hingga tiga-empat minggu laku dijual di pasaran dengan harga Rp 100.000-Rp 500.000 per lembar.
”Sarung dengan pewarnaan alami memang bisa dijual lebih mahal, yaitu Rp 1 juta-Rp 5 juta. Namun, penggarapannya, mulai dari membeli kapas, memintal benang, mengikatkan motif, mewarnai, lalu menenun, hingga menjadi sebuah sarung, memakan waktu satu-dua tahun,” kata Elizabeth Angong (65), salah satu penenun Desa Nggela.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.