Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Rasa Bangga di Hotel Indonesia

Kompas.com - 23/09/2012, 03:17 WIB

Dalam catatan Agus, terdapat 3 kopi dari karya tersebut, yaitu master pertama, master koreksian, serta karya jadi yang kini terpajang di foyer Bali Room. Master pertama kini berada di tangan kolektor Tossin Himawan, sedangkan master kedua tersimpan di Istana Presiden.

Bukan bangsa tempe

Hotel Indonesia dibangun ketika Indonesia merias diri untuk menggelar Asian Games di Jakarta pada 24 Agustus-4 September 1962. Untuk itu dibangunlah hotel berbintang yang menjadi etalase Indonesia. Bung Karno dalam pidato pembukaan HI sudah mewanti-wanti supaya petugas HI dan rakyat Indonesia pada umumnya, bisa menunjukkan wajah Indonesia dengan kepribadiannya.

”Tunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa tempe ...” kata Bung Karno dalam pidato berjudul ”A Dramatic Symbol of Free Nations Working Together.”

Pesan itu ditangkap Bob Tutupoli yang sejak 1963 sampai 1969 tampil tetap sebagai penyanyi merangkap pemandu acara di Hotel Indonesia. ”Bung Karno mewanti-wanti, ’Jagalah Indonesia kecil ini.’ Beliau memacu kami untuk menunjukkan kita ini bangsa besar. Kami bekerja tidak melihat gaji, tapi bangganya minta ampun walau kami datang naik becak he-he...” kata Bob Tutupoli yang tampil dalam acara The Legendary Journey garapan Garin Nugroho, Rabu (19/9) malam, untuk merayakan 50 Tahun Hotel Indonesia.

Untuk menerjemahkan keinginan Bung Karno, awak hotel digembleng secara khusus di Tanjung Timur, Cijantung, Jakarta Timur. Selama enam bulan pertama mereka dilatih seluk beluk perhotelan. Paruh kedua mereka diberi latihan militer.

”Kepada kami digambarkan Hotel Indonesia sebagai bottle neck, leher botol dari pintu gerbang pariwisata di Indonesia. Kami menjadi taruhannya rakyat Indonesia,” kata seorang bell boy yang dimuat di Kompas pada 7 Juli 1965.

Tamu naik becak

Tamu-tamu Hotel Indonesia saat itu adalah orang-orang besar, seperti Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja pada akhir 1962, Presiden Filipina Diosdado Macapagal pada Februari 1964.

Adapun tamu pertama HI adalah Allen Atwelt, karyawan Rockefeller Foundation, Amerika Serikat. Ia datang pada 2 Juli 1962 naik becak, lengkap dengan tas-tas besar yang memenuhi ”kabin” becak. Tarif hotel saat itu antara 10–24 dollar AS semalam. Saat ini tarif termahal untuk presidential suit seharga Rp 150 juta.

Untuk menjaga selera yang katakanlah ”berkelas”, Hotel Indonesia membentuk Art and Culture Department yang pada era 1960-an dipegang oleh Tim Kantoso dan Steve Lim. Tim yang pencinta jazz menggelar jazz secara tetap dengan menyuguhkan Jazz Riders yang antara lain didukung Bill Saragih, Didi Chia, Oele Patisellano, dan Bob Tutupoli.

Steve Lim yang belakangan bernama Teguh Karya membentuk Teater Populer yang sejak Oktober 1968 tampil tetap di Bali Room. Teguh Karya melibatkan aktor-aktor antara lain Slamet Rahardjo, N Riantiarno, Tuti Indra Malaon, dan Hengky Solaiman. Mereka mementaskan lakon seperti ”Dua Perempuan” karya Alice Gerstenberg, sampai ”Perkawinan” dari Nikolai Gogol. ”Pesan Bung Karno, HI tidak hanya tempat makan dan tidur,” kata Slamet Rahardjo.

Di tengah Indonesia yang telah berubah, HI yang kini bernama Hotel Indonesia Kempinksi, masih tegak berdiri. Di dalamnya kita masih bisa mengais-ngais sisa-sisa rasa bangga menjadi Indonesia yang dulu dibangun oleh Bapak Bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com