Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wow, Bandara Internasional Lombok Diserbu Pedagang Asongan

Kompas.com - 01/10/2012, 07:56 WIB
Sabrina Asril

Penulis

KOMPAS.com - Pemandangan unik terjadi di samping Bandara Internasional Lombok (BIL) yang baru saja dioperasikan setahun lalu. Tidak seperti bandara berstandar internasional lainnya, keberadaan BIL justru didominasi banyaknya pedagang asongan yang tersebar di samping pintu masuk menuju check in counter.

Saat Kompas.com mengunjungi BIL pada Sabtu (29/9/2012) petang, di samping pintu masuk itu, tampak sebuah area cukup luas yang masih beralaskan tanah dan rerumputan. Di sana, puluhan pedagang asongan menjajakan dagangannya. Ada yang membawa boks dan berkeliling. Ada pula yang menggelar tikar, bahkan ada  yang mendirikan tenda.

Tempat itu terbilang cukup strategis bagi para pedagang yang merupakan warga asli Tanak Awu, Lombok Tengah ini. Setiap pagi hingga malam hari, puluhan hingga ratusan warga Lombok memadati area yang seharusnya terlarang bagi para pedagang itu.

Layaknya sedang berwisata, sebagian besar dari warga yang datang adalah pengunjung BIL yang sekadar menghabiskan waktu bersama keluarga dengan menyaksikan pesawar-pesawat hilir mudik di landasan pacu. Pantauan Kompas.com, warga Lombok baik tua maupun muda tampak asyik berduduk di atas rerumputan sambil melihat pesawat maskapai asing maupun nasional yang baru saja tiba di bandara.

Setiap ada pesawat yang mendarat, sebagian warga ada yang bersorak. Ada pula yang dengan antusiasi menunjuk ke arah pesawat. Keberadaan mereka dengan landasan pacu hanya dibatasi sebuah pagar besi setinggi 3 meter yang di beberapa bagiannya dililitkan kawat berduri.

Jika lapar menghampiri, mereka dengan mudah membeli makanan dan minuman di sekitar lokasi, sambil duduk di tikar yang disediakan para penjual. Aksi para pedagang ini bahkan sempat diabadikan oleh beberapa wisatawan asing. Plang larangan bertuliskan "Dilarang menjual dan membuang sampah kacang rebus, jagung rebus, kwaci, telur puyuh, ampas, kopi, di sepanjang areal ini", seakan hanya dijadikan hiasan bagi para pedagang ini.

Mereka mantan petani

Fajriyah, salah seorang pedagang yang menjajakan kudapan dan minuman ini menuturkan bahwa kebanyakan warga yang berjualan di lokasi itu adalah warga dari Desa Tanak Awu, Lombok Tengah. Mereka sebelumnya adalah para pemilik tanah seluas 500 hektar yang kini dibangun bandara modern tersebut.

"Kami dulu yang punya tanah ini. Tanah ini dulunya lahan persawahan tempat kami bekerja. Sudah belasan tahun, kami jual ke pemerintah," ujar Fajriyah.

Dengan pengetahuan masyarakat yang minim, warga sepakat menjual tanah ketika itu dengan harga Rp 200.000 per are. Harga tanah itu kini, diakui Fajriyah, bisa mencapai 100 kali lipat. Bahkan, kabarnya tanah di sekitar bandara akan dijadikan hotel berbintang.

Setelah menjual tanahnya, warga Tanak Awuk yang mayoritas petani ini kebingungan mencari pekerjaan. Dengan bekal pendidikan sekolah yang rendah, mereka ditolak di mana-mana.

"Saya sudah tiga kali ngelamar di toko dan di bandara sendiri. Nggak ada yang diterima, mungkin karena saya hanya tamatan SMA," kata Fajriyah lagi.

Keadaan kemudian memaksa Fajriyah beralih menjadi pedagang. Demikian pula dengan Siti, warga Tanak Awu lainnya yang menjajakan minuman. Perempuan berkerudung ini mengaku sudah dua tahun berjualan di bandara yang dikelola PT Angkasa Pura I ini.

"Dulu saya petani, sekarang jualan sudah jalan dua tahun," ujar perempuan setengah baya itu.

Dalam sehari, lanjutnya, ia bisa meraup keuntungan Rp 50.000 dengan berjualan dari pagi hingga malam hari. Jumlah itu dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Diusir petugas

Kendati terlihat leluasa berdagang di halaman bandara mewah ini, namun nasib para pedagang tidak selamanya mulus. Terkadang, setiap ada para pejabat datang, pedagang-pedagang ini harus angkat kaki diusir petugas.

"Ditegur pasti, apalagi kalau ada pejabat. Tapi besoknya boleh lagi jualan di sini," ujar Fajriyah.

Fajriyah mengaku para pedagang masih mengandalkan belas kasihan pegawai Angkasa Pura untuk membolehkannya berdagang. "Karena ini dulu tanah kami, dan kami belum kerja, jadi mungkin mereka kasihan juga," ucapnya.

Baik Fajriyah maupun Siti berharap bisa mendapatkan tanah sawahnya kembali. Uang penjualan tanah yang dulu didapat sudah habis untuk membiayai keperluan sehari-hari hingga upacara adat yang memakan biaya hingga jutaan rupiah.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com