Di beberapa sudut langit-langit gedung yang dibangun pada 1986 itu banyak yang jebol dan lapuk. Kursi penonton tidak terawat. Hanya dua dari empat pendingin ruangan (AC) dalam ruangan yang hidup. Pun halnya dengan sejumlah sound system yang kualitasnya sangat jauh di bawah standar untuk menggelar sebuah pergelaran konser musik.
"Sebenarnya sudah beberapa kali saya usulkan (agar diperbaiki lagi), sampai saya bosan. Tapi mau bagaimana lagi, kalau kita idealis, tidak bakal ada grup musik ini. Jadi apa adanya saja, walau dengan kondisi seperti ini," aku Rence.
Keprihatinan Rence itu, seharusnya bisa menjadi perhatian utama bagi pemerintah pusat agar bisa segera dibenahi. Bahkan, selain Taman Budaya Maluku ini, kondisi taman budaya lainnya, yang seharusnya dapat dijadikan tempat bagi seniman untuk berkarya dengan nyaman, masih banyak yang terbengkalai di sejumlah daerah di Indonesia.
Lihat saja, infrastruktur taman Budaya, seperti di Provinsi Sulawesi Tenggara, Jambi yang masih berkutat dengan slogan "hidup segan, mati tak mau". Pada Juli lalu, Forum Taman Budaya Seluruh Indonesia, sempat mengungkapkan, sebagian besar dari 25 Taman Budaya di Indonesia belum mempunyai arah pengembangan yang baik.
Masalah itu sebenarnya membuat Rence dan kelompok musiknya Molucca Bamboowind Orchestra, hidup dengan kondisi prihatin. Tapi, hal itu tidak membuat semangat mereka luntur. Tempat tidak menjadi masalah, karena di benak mereka, ada spirit tinggi untuk membangun kembali peradaban musik Maluku sebagai salah satu karya indah kekayaan kebudayaan tradisional Indonesia.
"Melambai-lambai. Nyiur di pantai. Berbisik-bisik, Raja Kelana. Memuja Pulau. Nan indah permai, Tanah Airku Indonesia..." - Ismail Marzuki