Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika ke Alor, Mampirlah di Desa Takpala

Kompas.com - 11/01/2013, 14:51 WIB

KOMPAS.com - Suara gemerincing gelang kaki terdengar dari hentakan kaki yang dihujamkan ke tanah oleh wanita-wanita suku Abui. Sementara itu,  syair-syair lagu menggema dilantunkan ke langit oleh sekumpulan lekaki pejuang yang beratraksi sembari mengangkat senjata dan perisai mereka.

Sesekali gerak dan suara teriakan terhenti sebagai isyarat agar tamu yang datang mengikuti secara perlahan. Ada 21 anak tangga yang dipinjak untuk mulai memasuki sebuah kampung yang berusia sangat tua ini, setelah itu bersiaplah merasakan langsung aroma budaya pesta perayaan dan persahabatan melalui tari lego-lego yang menawan di Desa Takpala.

Desa Takpala adalah sebuah kampung tradisional di atas sebuah bukit namun sekaligus tidak begitu jauh dari pesisir pantai. Lokasinya berada di Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor. Sebagai kampung tradisional, Takpala memiliki belasan rumah adat berbentuk limas beratap ilalang yang tertata cukup baik. Kampung adat ini kiranya patut masuk dalam daftar agenda kunjungan Anda selama berada di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur.

Desa Takpala mencuat dalam daftar kunjungan wisatawan asal Eropa setelah seorang turis warga Belanda bernama Ferry memamerkan foto-foto warga kampung ini tahun 1973. Ia mengambil foto warga Kampung Takpala untuk kalender dan mempromosikan bahwa di Pulau Alor ada kampung primitif. Sejak saat itu Desa Takpala dikenal orang-orang Eropa dan turis pun berdatangan ke kampung ini.

Selain itu, tahun 1980 Kampung Takpala juga sempat menjadi juara 2 tingkat Nasional untuk kategori desa paling tradisional. Sejak 1983 Kampung Takpala ditetapkan sebagai salah satu tujuan wisata di Pulau Alor oleh Dinas Pariwisata Alor.

Kata takpala sendiri berasal kata "tak" artinya ada batasnya dan kata "pala" artinya kayu. Takpala diartikan sebagai kayu pembatas. Ada juga yang memberi definisi takpala sebagai kayu pemukul.

Suku Abui sendiri yang menghuni kampung ini adalah suku terbesar yang mendiami Pulau Alor. Mereka kadang biasa disebut juga Tak Abui (artinya gunung besar). Meski warga penduduk yang mendiami kampung ini hanya puluhan tetapi sebenarnya keturunan penduduk kampung ini telah tersebar dan telah mencapai ribuan orang. Masyarakat suku Abui dikenal begitu bersahaja dan sangat ramah terhadap pendatang.

Keseharian suku Abui di Desa Takpala ini adalah memanfaatkan hasil alam terutama hutan dengan berladang atau berburu. Otomatis saat siang hari kampung ini terlihat sepi karena sebagian dari mereka akan pergi mencari makanan ke hutan sekaligus berburu. Hasilnya selain dikonsumsi sehari-hari juga dijual di pasar. Makanan asli suku Abui umumnya adalah singkong dan jagung. Nasi kadang mereka konsumsi tetapi tetap dipadupadankan dengan singkong dan jagung (disebut katemak).

Kampung Takpala awalnya mendiami pedalaman Gunung Alor tetapi kemudian dipindahkan ke bagian bawah. Alasan pemindahan ini dahulu terkait kewajiban membayar pajak kepada Raja Alor (balsem). Utusan Raja Alor yang hendak memungut pajak kesulitan menjangkau kampung tersebut sehingga akhirnya dipindahkan ke bagian bawah. Adalah Bapak (alm) Piter Kafilkae yang menghibahkan tanahnya untuk dijadikan lokasi Kampung Takpala seperti sekarang ini sejak tahun 1940-an.

Rumah adat Suku Abui di Kampung Takpala begitu sederhana namun memikat. Rumah adat ini dinamakan lopo. Bangunannya berbahan kayu berbentuk limas dan beratap ilalang terbuka seperti gazebo dengan dinding setinggi 90 cm dari bambu. Rumah adat ini disangga 6 tiang dari kayu merah dan mampu bertahan cukup lama. Ada dua jenis rumah lopo, yaitu kolwat dan kanuruat. Rumah kolwat terbuka untuk umum, siapa pun boleh masuk termasuk anak-anak dan perempuan, sedangkan kanuruat hanya boleh dimasuki kalangan tertentu.

Selain lopo ada juga fala foka yaitu rumah adat bertingkat 4 yang dihuni hingga 13 kepala keluarga. Rumah adat bertingkat ini lantai 1 digunakan untuk berkumpul dan menerima tamu, lantai 2 untuk ruang tidur dan masak, lantai 3 tempat menyimpan bahan pangan seperti jagung dan hasil bumi lainnya, dan lantai 4 untuk menyimpan barang-barang adat seperti moko, gong, senjata, dan lainnya. Warga Takpala mengklaim bahwa merekalah yang pertama kali membuat rumah tradisional bertingkat empat di dunia.

Belanja

Di desa ini ada warga yang menjual beragam benda kerajinan. Anda dapat memiliki tas fulak yang terbuat dari anyaman bambu dan biasa digunakan untuk membawa sirih pinang atau tempat menyimpan uang. Tas ini juga pasti dikenakan saat menari lego-lego.

Saat para pria berburu dan berkebun ke hutan maka para wanita suku Abui umumnya mengisi waktu mereka dengan menenun. Tenunannya begitu cantik dan beragam dengan motif bunga, kepiting, kura-kura, serta ikan. Warna tenun ikat ini pun beragam ada yang hitam, merah, kuning, dan biru.

Anda dapat membeli salah satunya dari berbagai ukuran yang tersedia untuk selendang, sarung atau kain lebar seperti seprei. Harga tenun ikat ini mulai dari Rp 150.000 hingga jutaan rupiah.

Ikuti twitter Kompas Travel di @KompasTravel 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com