Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gula Kelapa dan Citarasa Jawa

Kompas.com - 01/06/2013, 03:38 WIB

Seperti bersilat, memasak pun kerap kali butuh kembangan jurus yang ”menyimpangi” jurus dasarnya. Tempe bawang-uyah (tempe goreng berbumbu bawang putih dan garam) tak pernah menyertakan bawang merah dan gula kelapa dalam racikan bumbunya. Lada kerap dipakai tanpa ditemani pala, tetapi pala hampir pasti disertai lada.

Meski begitu, ”jurus dasar” itu, ditambah gurihnya gula kelapa, berlaku cukup umum dalam membumbui berbagai masakan kawula Jawa. Dalam deretan khazanah santapan Kesultanan Yogyakarta, ayam kodok dan semur glatik sama-sama mempertemukan pala dan lada sebelanga. Dendeng ragi, glendoh piyik, atau sate telur, meramu-satukan daun salam dan lengkuas. Kelima masakan di atas juga memakai gula kelapa sebagai bumbunya (Murdijati Gardjito dkk, 2010).

”Masakan tradisional Jawa yang tidak berbumbu gula kelapa?” Sumartoyo bertanya balik. Ia tercenung satu-dua detik, mereka-reka taksirannya. ”Rasa-rasanya, 80 persen masakan Jawa memakai gula kelapa sebagai bumbunya,” ujar Sumartoyo yang juga General Manager Bale Raos, sebuah restoran di Magangan Keraton Kesultanan Yogyakarta.

”Baceman, brongkos, lodeh, semur, sambal urap-urap trancam semua memakai gula kelapa. Gula kelapa itu seperti santan, hadir di semua santapan. Satu-satunya sayur tak bersantan hanya sayur bening, itu pun di Yogyakarta pasti berbumbu gula kelapa sehingga warna kuahnya bening kecoklatan. Bistik dan kuliner pengaruh Eropa lainnya tidak memakai gula kelapa,” tutur Sumartoyo tertawa.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menyebut, keberadaan gula kelapa sebagai bumbu utama masakan Jawa tidak lepas dari melimpahnya ketersediaan gula kelapa. ”Di masa silam, pemanis rasa yang dikenal hanya gula kelapa. Gula tebu itu barang baru,” ujarnya.

Bedanya Solo

Di antara semua masakan manis itu, gudeg kerap ”dikeluhkan” sebagai yang termanis dari yang serba manis. Di dapur Parjimah, untuk memasak 200 butir telur pelengkap gudeg, dibutuhkan tidak kurang dari 1 kilogram gula kelapa ditambah dua cakup tangan garam.

Untuk memasak 25 kilogram nangka cacah menjadi gudeg, dibutuhkan 4 kilogram gula kelapa. ”Saya mewarisi resepnya dari ibu saya, Mbok Marto Setomo, takarannya seperti itu. Saya tidak berani mengubahnya. Kalau saya memasak gudeg, telur, juga lauk lainnya, sehari menghabiskan 12 kilogram gula kelapa,” tutur Parjimah.

Biarpun juga menjadikan gula kelapa sebagai bumbu hampir tiap masakan, takaran manis orang Solo cenderung lebih tawar dari orang Yogyakarta. Itu terasa saat menyantap gudeg di Warung Gudeg Bu Mari di Singosaren, Solo. Gudeg Bu Mari, dengan warna gudeg yang lebih cerah dari kebanyakan gudeg Yogyakarta, lebih menonjolkan rasa gurih ketimbang manis.

”Yang paling membedakan gudeg Yogya dan Solo, ya, rasa manisnya. Di Solo, gudeg lebih kuat gurihnya,” ujar Atik yang mewarisi warung gudeg ini dari ibunya, Bu Mari. Jika gudeg nangka Mbok Marto hanya berbumbu gula dan garam kasar, gudeg Bu Mari dimasak dengan bumbu bawang putih, ketumbar, dan sedikit lada, garam, dan tentu saja gula kelapa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com