Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Sukamade Kami Bertemu...

Kompas.com - 23/10/2013, 10:30 WIB
KOTA Malang menjadi titik awal perjalanan bersepeda saya menuju Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur memanfaatkan libur Idul Adha. Rutenya menempuh pegunungan di lereng selatan Gunung Semeru (3.676 meter) dan Argopuro (3.088 meter), melintasi Kota Lumajang, Jember, Genteng, Rajegwesi, Sukamade, dengan  jarak tempuh sekitar 400 km.

Meski tergolong berat, jalur ini saya pilih karena belum pernah melintasinya, potensi pemandangan, dan keramahan terhadap pesepeda. Sedangkan jalur utara relatif sudah sering saya lalui dengan berkendaraan. Apalagi jalur ini melintasi sejumlah tempat legendaris seperti Piket Nol dan Rajegwesi.

Di Sukamade saya akan bergabung dengan sejumlah pengelana bersepeda dari berbagai daerah. Seperti para musafir yang bertemu di oase padang gurun. Perhelatan 13-15 Oktober 2013 ini digagas oleh Dama Herdyanto NA, pengelana yang tinggal di Surabaya dan kerap menggunakan nama "Turis Jawa" di media sosial.

Dari Jakarta saya menumpang bus, sepeda dicopot bannya lalu masuk bagasi. Bus menjadi sarana mengatasi keterbatasan waktu setelah kereta tak menyediakan tempat untuk sepeda dan pesawat tak menjangkau tujuan.

Di atas bus malam ini, ingatan saya terlempar ke tahun 1995 saat pertama kali menjelajah Meru Betiri bersama sejumlah teman. Sekarang saya datangi lagi Meru Betiri dengan cara yang lain. Entah bagaimana sosoknya tapi magnetnya masih terasa sekuat dulu.

Becak di puncak

Jumat (11/10/2013) sudah pukul 16.00 waktu saya tinggalkan kota Malang. Meleset dari rencana karena jalanan macet menahan bus di sejumlah titik. Saya pacu Tenzing, sepeda besi Federal Mt Everest 1995 menuju Dampit dan seterusnya sesuai kemampuan.

Saya terpaksa jalan malam untuk menambah jarak tempuh. Jalan mendatar sampai 25 km pertama hingga jembatan batas Kecamatan Dampit. Truk-truk pengangkut tebu lalu lalang mengantar muatan di sisa hari. Selepas jembatan, jalan menyempit dan menanjak sepanjang 10 km sampai Turen. Sesekali saya menepi, mengalah sama truk pengangkut tebu yang terseok di tanjakan.

M AGUNG PRIBADI Gerbang Taman Nasional Meru Betiri.
Perkebunan tebu yang memagar sisi jalan mengingatkan saya pada novel sejarah 'Bumi Manusia' karya mendiang Pramudya Ananta Toer. Latar belakang kehidupan di perkebunan tebu pada pertengahan abad ke-19 di kawasan seputar Lumajang, Jember, sampai Situbondo masih menyisakan jejaknya sampai sekarang. Saya lalui Pabrik Gula Rajawali di Krebet Baru. Di pinggir jalan, sisa-sisa rel lori pengangkut tebu menyusur hingga hilang tertutup tanah.

Dalam buku Eksotisme Jawa: Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Masyarakat Jawa, John Joseph Stockdale menulis, desa-desa perkebunan di berbagai penjuru hutan di Jawa mulai banyak dibentuk oleh Belanda pada abad ke-19, mengikuti dibentuknya perkebunan baru. Para pekerja didatangkan dari Madura dan kota-kota sekitarnya. Mereka ditempatkan di perkebunan dilengkapi dengan rumah dan fasilitas penunjangnya.

Seiring dengan perubahan zaman dan pesatnya pembangunan, akses ke perkampungan di tengah perkebunan pun kian terbuka. Kini Andongrejo, Curah Nongko, Curah Takir, dan Sanenrejo sudah menjelma menjadi desa di pinggiran hutan di ujung Kabupaten Jember. Hanya Sukamade yang terletak di Banyuwangi dan kini masih tak terjangkau kendaraan biasa.

Matahari sudah tenggelam. Gelap malam memeluk saya yang ngos-ngosan menekuni tanjakan Dampit sampai ke Tlogosari sejauh 18 km. Tak ada lampu jalanan. Lampu-lampu dari perkampungan seperti kunang-kunang di kejauhan.

Saat berhenti makan di Turen, warga memperingatkan saya untuk bermalam. Daerah itu rawan. Tapi masih ada tenaga dan kemauan untuk menambah jarak. Maka saya putuskan untuk lanjut.

Bulan separuh dan tersaput mendung nyaris tak memberi penerangan. Gelap dan sendiri perlahan membersitkan rasa takut.

Kampung-kampung agak berjauhan diselingi hutan dan perkebunan. Kalau dibegal matilah saya, tapi mungkin juga malah jadi peluang wawancara eksklusif  sama si raja jalanan daerah situ. Tapi kalau ketemu penghuni 'dunia lain'... Nah, itu biarkan malaikat pelindung yang mengatasi.

M AGUNG PRIBADI Taman Nasional Meru Betiri.
Lampu depan saya matikan dan saya maju terus menembus kegelapan. Kalaupun ada begal yang menanti di depan, mereka pasti akan kaget juga karena saya muncul dari kegelapan yang senyap. Turun naik jalanan saya rasakan dari kayuhan. Sesekali motor dan mobil melintas dengan interval satu sampai lima menit. Cahayanya seperti seberkas harapan yang untuk sesaat menerangi jalan. Lalu mereka menjauh membawa semua harapan itu.

Di satu puncak tanjakan, tiba-tiba saya bertemu becak yang didorong seorang bapak tua. Terkejut, saya berusaha  menyapa si bapak.

"Mari pak, duluan...," kata saya.

Si bapak yang bertopi putih diam saja dan menatap tajam ke saya. Sekelabat tapi tatapan itu membuat  saya  heran, di tempat setinggi ini ada becak? Tiba-tiba saya merinding. Tapi tidak bisa mengayuh lebih cepat karena jalan menanjak.

Ah, ada sepeda motor dari atas. Saya menoleh ke belakang, becak itu lenyap entah kemana...

Saya teruskan saja mengayuh sekitar lima kilometer ke depan dan bertemu SPBU kecil. Sudah pukul 22.00, badan sudah letih dan mengantuk sekali rasanya. Saya putuskan bermalam di situ.

***

Pukul 03.30, hawa dingin membangunkan saya. Segera sleeping bag dan matras saya gulung lalu mengepaknya di sepeda. Sarapan roti dan kopi panas cukup memompa semangat untuk menghadapi perjalanan hari ini.

M AGUNG PRIBADI Menyeberang Sungai Sukamade.
Pukul 04.00 saya kembali menembus gelap. Truk-truk engkel sudah mulai berseliweran menjemput rezeki dari pasir dan batu Gunung Semeru.

Kabut menebal saat saya mendaki ke Pronojiwo. Hari Sabtu (12/10/2013) saya harus menempuh perjalanan panjang sampai Jember. Saya bangun dengan badan segar dan mental yang sangat positif untuk perjalanan hari ini.

Saat memasuki Desa Pronojiwo, matahari mulai terbit. Puncak Mahameru yang tadi membayang di kegelapan menampak sosoknya yang kokoh. Puncak pasirnya memerah disapa mentari. Sesekali meletup asap putih yang membentuk tiang awan, yang kerap menjadi ikon foto pendaki di Mahameru. Guratan lerengnya membentu jurang dalam dan lembah besar berpasir.

Di tengah bahaya letusan yang senantiasa mengancam, Mahameru benar-benar memuntahkan rezeki bagi penduduk sekitar lerengnya. Lembah dalam dan punggungan besar di badan gunung menciptakan pesona alam yang diolah menjadi tempat-tempat wisata seperti Gunung Bromo, Coban Pelangi, Ranupani, Goa Tetes, dan lainnya.

Setelah mendaki 20 km, saya sampai di Piket Nol, puncak tertinggi di jalur itu dengan ketinggian 750 mdpl. Tempat legendaris itu berupa taman dan ada pos polisi di dekatnya. Para pelintas biasa beristirahat di taman atau warung di sekitarnya sambil menikmati pemandangan ke arah laut selatan maupun Puncak Mahameru.

Ada yang menyebut tempat itu dulunya pos pemeriksaan Belanda untuk mengecek pengangkut hasil bumi yang lewat. Tapi tak ada literatur yang menguatkan hal itu, setidaknya sejauh yang saya gali informasinya.

Dari Piket Nol, saya meluncur turun berkelok-kelok menuju Lumajang. Turun satu punggungan, sampailah saya di jembatan Gladak Perak yang terkenal. Keindahan arsitektur jembatan berpadu dengan dahsyatnya jurang dalam di antara dua punggungan yang dihubungkannya. Panjang jembatan sekitar 65 meter menjulang di atas bekas aliran lahar Semeru yang disebut Besuk Kobo’an.

M AGUNG PRIBADI Gladak Perak
Ada dua jembatan di sana. Satu buatan Belanda yang sudah tidak digunakan lagi dan lainnya jembatan beton sepanjang 130 meter yang dibangun pemerintah Indonesia pada tahun 2001.

Di kiri dinding tebing dan kanan jurang dalam dari lembah besar yang mengarah ke lereng Semeru. Hati-hati betul saya berkelok ala Valentino Rossi, karena rem sepeda cantilever yang saya gunakan daya pengeremannya kurang.

Dihabisi Gunung Gumitir

Suara adzan subuh membangunkan saya di Kalibaru, sekitar 38 km selepas Jember. Lantunan ayat suci Alquran itu di benak saya seperti berbisik: "Kamu itu bukan apa-apa kalau hanya mengandalkan dirimu. Sandarkan semua pada Allah, lakukan semuanya hanya karena dan untuk Dia. Semua letih sakit ragamu akan diangkat dan kamu akan lebih kuat".

Setelah seharian penuh terpanggang mentari sejak mendaki dari Tlogosari ke Piket Nol, menyusuri jalur pedesaan dari Lumajang ke Jember, mendaki penuh 28 km selepas Jember, ditutup dengan pendakian berat 10 km lalu menuruni Gunung Gumitir di malam gelap, saya merasa habis. Tak ada lagi tenaga tersisa dan fisik begitu rapuh saat mencapai Kalibaru pukul 21.00.

Sebenarnya bisa saja saya berhenti pada sore hari. Namun perhitungan jarak dan waktu mengharuskan saya melanjutkan perjalanan sebisa mungkin, mencapai titik terjauh yang bisa dicapai sepanjang hari. Kalau tidak, saya tak akan pernah sampai ke Sukamade.

Target saya masuk Kalibaru, sekitar 120 km dari Tlogosari (saya tak memakai cyclometer, jadi kalkulasi jarak hanya berdasarkan rambu yang ada). Saya mengayuh seefisien mungkin, dengan putaran sedang dan kecepatan di medan datar 25-30 km/jam dan melambat di tanjakan.

Namun karena beratnya medan, baru pukul 17.00 bisa masuk Jember. Itu pun sudah dengan mengayuh seharian sejak pukul 04.00. Normalnya, dalam sehari sebaiknya mengayuh tak lebih dari delapan jam.

Tapi ya itu tadi, kalau berhenti, saya tak akan sampai di tujuan. Maka setelah makan sepiring sate dan tiduran sebentar di warung di pinggiran Jember, saya lanjutkan perjalanan malam. Ternyata 38 km terakhir itu benar-benar menguras tenaga. Saya merasa benar-benar sendirian dan tak berdaya.

M AGUNG PRIBADI Panen Tegalsari.
Saat menuruni Gunung Gumitir di kegelapan malam, di sela bus besar dan truk gandeng yang lewat, sepeda saya seperti berjalan sendiri dituntun naluri. Lampu tak mampu menembus pekatnya gelap hutan yang rimbun menahan sinar rembulan. Orang-orang di warung makan terkaget-kaget melihat saya datang dengan sepeda. Bapak pemilik warung menerima saya bermalam. Selesai makan, saya langsung tertidur pulas dibalut sleeping bag.

Suara adzan subuh meniupkan spirit baru. Secara transendental, itu menebalkan tekad saya untuk mencapai tujuan, lebih pasrah mengandalkan kekuatan Sang Pemilik Perjalanan. Masih ada rute Kalibaru-Pesanggaran dan Pesanggaran-Sukamade. Seiring matahari terbit pagi ini, saya lanjutkan perjalanan dengan semangat baru.

Melepas Medina di Sukamade

Nurhuda Abdullah, mahasiswa Pertanian Universitas Negeri Jember itu bersepeda dari tempatnya kuliah ke rumahnya di Banyuwangi, Minggu (12/10/2013). Jarak 95 kilometer ditempuh dengan sepeda butut pinjaman dari temannya, demi pulang ke rumah merayakan Idul Adha bersama orangtua.

Huda mengaku sudah tidak punya uang sama sekali. Dia tak mau meminta ke orangtuanya, meski ongkos bus hanya Rp 5.000, dan memilih mati raga dengan bersepeda jauh.

Kedua orangtua Huda yang buruh tani benar-benar sedang kesusahan karena panenan gagal diserang hama tikus. Sekitar sebulan menjelang panen, tikus pesta menyerbu pertanian di kawasan Banyuwangi hingga Jember. Petani hanya bisa pasrah dan memanen sisa yang ada.

"Ini sisa tikus tapi tetap bersyukur pak. Masih ada yang bisa dipanen untuk makan," tutur Tri, petani yang saya temui di Desa Tegalsari, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi.

Bersama saudara dan tetangganya, Tri sedang memanen sawah. Biasanya sepetak sawah itu menghasilkan satu ton padi, namun kini tinggal setengahnya saja.

Meski begitu Tri dan petani lain tetap penuh semangat memotong dan mengumpulkan batang padi. Sesekali canda tawa terdengar. Wajah mereka  berhias senyum yang tulus.

Saya lanjutkan perjalanan menyusuri pedesaan sampai ke Pesanggaran, kota kecil dengan fasilitas publik lengkap terakhir sebelum masuk TN Meru Betiri. Masih 40 km lagi menuju Pantai Sukamade.

M AGUNG PRIBADI Kongkow.
Saya terus bergerak menembus perkebunan Sungai Lembu sampai ke Rajegwesi. Jalan rusak tanah dan bebatuan mengguncang sepeda besi. Peluh mengucur deras bercampur debu.

Tepat tengah hari saya sampai di Rajegwesi. Perkampungan nelayan itu mundur 200-an meter dari garis pantai, terlindung punggungan bukit, setelah dilanda tsunami tahun 1994. Bencana yang merenggut jiwa 47 orang itu masih membekas di benak warga.

Saya lalu mendaki punggungan menuju Sukamade. Jalan bebatuan sepanjang 10 km itu hanya bisa ditempuh truk engkel atau mobil berpenggerak empat roda. Konturnya sangat terjal dan mengikis mental.

Setelah 'final push' itu saya susuri perkebunan kakao, lamtorogung, abasia, kopi, karet, masuk hutan, dan menyeberangi sungai, hingga tiba di pantai Sukamade. Para pengelana sepeda yang sudah lebih dulu tiba menyambut dengan hangat. Biasanya kami hanya bertemu di dunia maya.

Cerita tentang Huda dikisahkan Adi (35) alias Cak Distroyer Mancal, pengelana sepeda dari Surabaya, saat kami kongkow di tengah api unggun di tengah hutan pantai Sukamade, Senin (13/10/2013). Tenda-tenda sudah berdiri, sepeda parkir, dan bekal diturunkan. Kami masak perbekalan masing-masing untuk dimakan bersama.

Seluruhnya ada 24 orang yang datang dari berbagai daerah seperti Bekasi, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Sidoarjo, Banten, dan saya sendiri dari Jakarta.

Tidak bersamaan kami datang. Tapi kumpul guyub dan berbagi cerita dari perjalanan bersepeda beberapa hari untuk mencapai Sukamade, sungguh seperti mengisi gelas kosong, memperkaya batin kami. Beratnya perjalanan jarak jauh ke Sukamade yang terpencil di tengah hutan TN Meru Betiri tak lagi terasa.

Sore hari kami melepas 100-an ekor tukik di pantai. Malamnya, kami susuri pantai pasir putih yang lembut bermandi cahaya bulan keperakan untuk mengintip penyu bertelur.

Pantai Sukamade menjadi salah satu tempat habitat penyu langka, di antaranya penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu slengkrah (Lepidochelys olivacea), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Pada waktu-waktu tertentu tukik atau anak penyu yang sebelumnya telah ditangkarkan, dilepas di pantai ini untuk tumbuh dan berkembang.

Karena keterpencilan Sukamade, penyu-penyu bisa bertelur dengan lebih aman, minim gangguan manusia dan habitatnya pun terjaga. Karyono, salah satu relawan yang menemani kami mengatakan, pada puncaknya penyu yang mendarat bisa mencapai 80 ekor per hari. Namun dua tahun terakhir jumlahnya terus menurun hingga tinggal 15 ekor akhir-akhir ini.

M AGUNG PRIBADI Mendaki Sukamade
Hutan Meru Betiri tetap menyiratkan pesonanya yang kuat. Pohon-pohon besar berusia ratusan tahun, kepakan sayap rangkong, kicau burung, tingkah polah kera di dahan, dan nyanyi serangga hutan sepanjang hari. Kesunyian hutan menenangkan jiwa.

Taman Nasional Meru Betiri seluas 58.000 ha mencakup dua kabupaten, yaitu Kabupaten Jember seluas 37.585 ha dan Kabupaten Banyuwangi seluas 20.415 ha.

***

Angin dingin bertiup di pantai saat mentari mulai rebah di ufuk barat. Saat melepas tukik di pantai, Bastian (38) terlihat sendu. Ada sedikit kesedihan pada raut wajahnya.

Wiraswastawan sablon kaos asal Bogor itu terus memandangi anak penyunya berjuang jalan sampai menyentuh pantai lalu lenyap ditelan buih ombak pertamanya. Ia lalu melepaskan sesuatu di tengah ombak dan memandang lama ke arah laut.

"Itu foto dan baju Medina," tuturnya setelah ritual itu selesai.

Medina adalah putri kesayangannya yang meninggal dunia pada Februari lalu. Sampai sekarang Bastian tak tahu pasti apa penyebab putrinya yang berusia tujuh tahun itu pergi.

Keluarga kecil pencinta turing bersepeda itu baru saja tiba di rumah setelah perjalanan dari Cirebon ke Bogor. Bastian dan istrinya bersepeda, sedangkan Medina ikut di trailer yang ditarik sepeda Bastian.

Setelah dua hari di rumah, Medina pergi begitu saja dalam tidurnya. Dokter tak menemukan penyebab pasti kepergiannya.

M AGUNG PRIBADI Lembah Semeru
Sejak usia lima tahun Medina sudah biasa diajak berkelana dengan sepeda bersama bapak-ibunya.

"Medina itu suka banget kura-kura. Makanya saya punya nazar bersepeda ke sini untuk melarungnya, mewakili dia melepas tukik sekaligus merelakan kepergian Medina. Kebetulan ada gathering peturing ini, jadi sekalian saya berkumpul dengan teman-teman," tuturnya.

Sudah sebelas hari Bastian bersepeda dari Bogor. Di pantai Sukamade ini, kami menemaninya melepas kepergian sang buah hati sambil mengirim doa. Medina, tetaplah ceria di keabadian... (M Agung Pribadi, wartawan Warta Kota)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Travel Update
Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Travel Update
Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Travel Update
Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Jalan Jalan
Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Travel Tips
8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

Travel Tips
Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com