Setidaknya filofosi dasar itu yang membuat masyarakat Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, menggelar ritual yang disebut gugu tahun alias nalitn tautn. Upacara ini berlangsung selama delapan hari pada akhir November 2013. Puncak upacara bertepatan dengan hari ulang tahun ke-14 kabupaten di hulu Sungai Mahakam itu.
Bupati Kutai Barat Ismail Thomas mengatakan, perayaan ulang tahun Kutai Barat berlangsung dua tahun sekali. ”Tahun ini, kami cuma memperingatinya saja, tentu tetap menggelar upacara gugu tahun, untuk memperbaiki kualitas hidup kita secara spiritual,” ujar Ismail Thomas di Sendawar, Kutai Barat, seusai memimpin upacara peringatan HUT ke-14 kabupaten itu yang jatuh pada 5 November setiap tahun.
Rangkaian ritual selalu dimulai dengan memohon berkah di situs Sentawar, yang dianggap sebagai cikal-bakal masyarakat Dayak di Kutai Barat. Sentawar, menurut budayawan Korrie Layun Rampan, dahulu memang merupakan satu kerajaan di Kaltim, selain Kutai Mulawarman dan Kutai Kertanegara.
”Sentawar memang tipe kerajaan kecil di pedalaman, tetapi ini dipercaya sebagai leluhur masyarakat Dayak di Kutai Barat,” ujar Korrie, penulis novel Upacara, ini di rumahnya yang sederhana di Sendawar.
Setelah upacara di situs Sentawar, menurut Lucia Mayo, istri Bupati Kutai Barat, yang sehari-hari mengendalikan seluruh acara, terdapat lagi rangkaian ritual yang rumit. ”Seluruh upacara bergantung pada pemamang, sekelompok pawang yang dipanggil khusus untuk memimpin doa tradisional Dayak,” katanya.
Di siang yang membakar Kutai Barat, Kentung (62), dari suku Dayak Benoaq, memimpin ritual mendirikan belontang, di tengah-tengah lapangan Taman Budaya Sendawar. Di sini, Kamis (7/11/2013), digelar puncak acara, berupa pengurbanan dua ekor kerbau. ”Namun, sebelum acara puncak, digelar dahulu pendirian belontang, simbol dari leluhur orang Dayak,” kata Kentung lagi.
Patung kayu
Belontang berupa patung dari kayu sebesar pinggang orang dewasa berwujud manusia. Patung itu dipercaya sebagai penjelmaan dari para leluhur. Oleh sebab itu, pada saat pemancangannya di halaman, digelar berbagai ritual ”pemberian roh”, termasuk di dalamnya menyuguhkan apa yang dimakan manusia. Pada saat ritual inilah disuguhkan makanan, seperti kue tumpi (merah dan putih), tintiikng (lemang), punyuukng (nasi dalam daun pisang), wajik, telur, serta nasi berwarna merah, kuning, dan putih. Tak jarang pula belontang disuguhi rokok.
Siang itu, sekelompok pemamang memanjatkan doa dalam bahasa Dayak Benoaq, agar roh belontang turun ke bumi. Sembari berdoa, belontang juga diberi suguhan dengan menyuapkan makanan ke bibirnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.