Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Banyuwangi, "Isun Gandrung, Gandrungono Isun"

Kompas.com - 16/12/2013, 12:58 WIB
HATI Temu Misti (60) dan Suparmiati (63), bukan cuma bahagia, melainkan juga bangga. Selain masih bisa menari Paju Gandrung Sewu secara kolosal di Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, mereka juga melihat anak-anak muda penerus seni gandrung.

Siapa tahu ada di antara mereka ada yang mau menekuni gandrung sebagai pilihan hidup berkesenian dan bukan sekadar ikut menari,” demikian harapan Temu dan Suparmiati, baru-baru ini.

Temu, Suparmiati, juga Supinah (55) merupakan penari gaek tari gandrung yang setia dengan budaya lokal masyarakat Banyuwangi. Mereka ikut meramaikan Paju Gandrung Sewu, di antara 1.053 pasang laki-laki dan perempuan, yang tampil di Banyuwangi Festival untuk mempromosikan Banyuwangi. Penari yang ikut, total 2.106 orang, belum termasuk penabuh gamelan dan pesinden, terdiri atas penari gandrung berusia 9-70 tahun. Mereka berasal dari SD hingga perguruan tinggi.

Asal-usul gandrung

Gandrung berasal dari kata gandrung, yang dalam bahasa Banyuwangi berarti ’tergila-gila’ atau ’cinta berat’ menurut anak-anak Jakarta. Kalau di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat ada tayub atau di Jawa Barat ada ketuk tilu, di ujung timur Pulau Jawa ada seni gandrung.

KOMPAS/ADI SUCIPTO Upaya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam melestarikan gandrung dimulai dengan mengenalkan tari gandrung. Sebanyak 1.053 penari gandrung dilibatkan dalam paju gandrung sewu di pantai Boom Banyuwangi Jawa Timur pada Sabtu (23/11/2013) lalu artinya ada 2056 penari termasuk 1053 penari paju.
Tari gandrung dulunya merupakan wujud rasa syukur petani sehabis panen. Awalnya, gandrung hanya ditarikan laki-laki dengan dandanan perempuan. Instrumen pengiring utamanya kendang, terbang (rebana), dan biola. Namun, sejak 1890, gandrung lanang (laki-laki) mulai menghilang. Itu terkait ajaran Islam yang melarang lelaki berdandan ala perempuan. Gandrung lanang benar-benar menghilang setelah kematian penari terakhirnya, Marsan.

Menurut budayawan Banyuwangi, Hasnan Singadimayan, gandrung wadon (perempuan) pertama kali muncul tahun 1895 dan diawali dengan gandrung Semi, yang saat itu baru berusia 10 tahun. Awalnya, anak Mak Midhah itu sakit dan beragam upaya dilakukan agar sembuh. Akhirnya Mak Midhah bernazar, ”Kadung sira waras, sun dhadheaken seblang. Kadung sing ya osing" (Kalau kamu sembuh, aku jadikan seblang—penari gandrung dengan mahkota dari dedaunan. Kalau tidak sembuh, ya tidak). Konon Semi akhirnya sembuh dan dijadikan seblang untuk menghibur warga.

Hasnan menambahkan, gandrung perempuan itu juga diikuti saudara Semi yang lain dan dipentaskan dengan nama panggung gandrung. Kesenian gandrung wadon akhirnya berkembang menjadi ikon Banyuwangi.

Gandrung awalnya hanya boleh ditarikan keturunan penari gandrung. Namun, sejak 1970-an, banyak gadis mempelajari gandrung lalu menjadikannya mata pencarian hidup seperti ronggeng. Jika para penanggap seni gandrung itu sepi, para penari biasanya beralih lagi menjadi buruh tani.

KOMPAS/ADI SUCIPTO Upaya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam melestarikan gandrung dimulai dengan mengenalkan tari gandrung. Sebanyak 1.053 penari gandrung dilibatkan dalam paju gandrung sewu di pantai Boom Banyuwangi Jawa Timur pada Sabtu (23/11/2013) lalu artinya ada 2056 penari termasuk 1053 penari paju.
Gandrung biasanya dipentaskan dalam acara petik laut, khitanan, perkawinan, acara perayaan kemerdekaan, dan musim haji. Pertunjukan digelar pada malam hari hingga menjelang subuh. Iringan musiknya terdiri dari rebab, kendang, gong, kempul, dan kluncing. Irama gamelannya merupakan perpaduan Jawa dan Bali serta lebih terasa rancak. Jika ada laki-laki yang mengiringi menari (pemaju), tarian itu disebut paju gandrung.

Hadapi persaingan

Temu sendiri mulai belajar tari gandrung sejak tahun 1969 saat berusia 15 tahun. Saat ini, tambah Temu, gandrung menghadapi persaingan dengan elekton dan jenis musik lainnya. ”Sekarang ini susah mencari anak muda yang bisa olah vokal dengan cengkok gandrung. Kalau mencari penari gandrung, cukup banyak,” keluhnya.

Hal yang sama diungkapkan Suparmiati, yang mulai menekuni tari gandrung sejak tahun 1980-an. ”Sekarang ini sulit mencari gandrung profesional karena harus bisa menyanyi dan menari,” ujar warga Boyolangu, Kecamatan Giri, yang sering mendapat panggilan menari di hajatan warga Using (sebutan bagi suku asli Banyuwangi), ini.

Tampil semalam suntuk, tarif penari gandrung terbilang cukup lumayan, yaitu Rp 3,5 juta-Rp 6 juta. Dari tarif itu, seorang gandrung biasanya dapat bagian 10 persen. Sementara 90 persen lainnya dibagi untuk kas kelompok seni gandrung dan pemain musik pengiring. ”Paling tidak, seorang gandrung bisa dapat Rp 250.000-Rp 300.000 sekali pentas. Padahal, kami ini harus menjaga suara agar tetap bagus dengan minum jamu, terutama popoh (gurah),” lanjut Suparmiati.

KOMPAS/ADI SUCIPTO Dua gandrung muda siap meramaikan paju gandrung sewu di Banyuwangi Jawa Timur Sabtu (23/11) lalu. Mendapatkan gandrung profesional lebih sulit regenerasi karena membutuhkan keahlian tidak hanya menari tetapi juga menyanyi semalam suntuk.
Celakanya, seorang gandrung yang harus menjaga penampilan kerap dituding negatif. Namun, menurut Supinah, hal itu tergantung masing-masing dan sikap gandrung membawa diri. ”Itu mungkin karena banyak pria yang nyawer saat ikut menari bersama gandrung,” aku Supinah, yang mulai menekuni seni gandrung pada usia 12 tahun karena takut dikawinkan orangtuanya di usia muda.

Supinah senang jika banyak saweran. Namun, sebaliknya, juga takut jika ada penyawer yang mabuk. ”Saya pernah disiram minuman keras gara-gara tidak mau dipangku. Saya tidak mau karena ini menyangkut harga diri,” katanya.

Menurut dia, kalau tidak bisa membawa diri, seorang gandrung bisa dicap negatif dan gampangan. Padahal, menjadi seorang gandrung bukan perkara gampang. Selain belajar, tekun berlatih, juga ada semacam ritual tertentu yang harus dijalani, termasuk berpuasa. Oleh karena itu, tak banyak anak-anak muda sekarang yang mau menerjuni gandrung.

Di antara yang langka dan mau berkiprah di gandrung, di antaranya Sarita Dicha Putri (17) dan Umi Nur Kholifah (19). Sejak duduk di kelas I madrasah tsanawiyah, Sarita mulai banyak ditanggap. Ia tergabung dalam kelompok Seni Gandrung Sekartayup, Bulusari, Kecamatan Kalipura. ”Mau melanjutkan sekolah tak ada biaya. Sekarang lumayan. Dari gandrung bisa bantu orangtua,” ujarnya. Sekali pentas, ia dapat Rp 125.000.

Umi juga sudah dua tahun ini menjadi gandrung profesional. Neneknya, Siti, dan ibunya, Sapti, juga penari gandrung. Sekali pentas, Umi mengantongi uang Rp 250.000. ”Saya tidak terikat kelompok tertentu, tetapi kalau dilibatkan sangat senang. Sebulan bisa 5 sampai 10 kali tampil,” ujarnya.

KOMPAS/ADI SUCIPTO Para gandrung profesional dilibatkan dalam paju gandrung sewu di Banyuwangi Jawa Timur pada Sabtu (23/11/2013) lalu. Proses pencarian atau regenerasi gandrung profesional tidak semudah mencari penari gandrung karena menjadi gandrung profesional ada ritual dan lelaku yang harus dijalani termasuk puasa dan rajin gurah untuk menjaga kualitas suara.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menilai kolosalitas Paju Gandrung Sewu menunjukkan budaya lokal yang semakin digandrungi, berkembang, dan sekaligus menjadi aset wisata yang potensial untuk menarik wisatawan di Banyuwangi.

”Paju Gandrung Sewu memang menjadi bagian dari strategi promosi wisata, dan satu rangkaian di acara Banyuwangi Festival yang dimulai dengan Banyuwangi Ethno Carnival, Tour de Ijen, Beach Jazz Festival, dan Festival Kuwung,” jelasnya.

Seperti yang disampaikan budayawan Banyuwangi, Hasnan, soal gandrung. ”Kalau ada yang bilang dosanya satu gandrung sewatudodol (bebatuan di tepi pantai Banyuwangi), kenapa manfaatnya seluas Selat Bali tak pernah disampaikan,” ujarnya. (ADI SUCIPTO KISSWARA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Aktivitas Vulkanik Gunung Slamet Naik, Ratusan Pendaki Gagal Gapai Atap Jawa Tengah

Aktivitas Vulkanik Gunung Slamet Naik, Ratusan Pendaki Gagal Gapai Atap Jawa Tengah

Travel Update
Rute ke Gereja Ayam Bukit Rhema, Cuma 10 Menit dari Candi Borobudur

Rute ke Gereja Ayam Bukit Rhema, Cuma 10 Menit dari Candi Borobudur

Travel Tips
Kota Batu Cocok untuk Olahraga, Event Sport Tourism Akan Diperbanyak

Kota Batu Cocok untuk Olahraga, Event Sport Tourism Akan Diperbanyak

Travel Update
Lihat Sunrise di Gereja Ayam Bukit Rhema Harus Reservasi Dulu, Ini Cara dan Tarifnya

Lihat Sunrise di Gereja Ayam Bukit Rhema Harus Reservasi Dulu, Ini Cara dan Tarifnya

Travel Update
Perjalanan Salatiga-Yogya-Pacitan yang Indah, Menikmati Pesona Pantai Banyu Tibo dan Buyutan

Perjalanan Salatiga-Yogya-Pacitan yang Indah, Menikmati Pesona Pantai Banyu Tibo dan Buyutan

Jalan Jalan
Gereja Ayam Bukit Rhema di Borobudur, Pesona Sunrise Dikelilingi 5 Gunung

Gereja Ayam Bukit Rhema di Borobudur, Pesona Sunrise Dikelilingi 5 Gunung

Jalan Jalan
5 Hotel Dekat Ocean Park BSD, Bisa Jalan Kaki

5 Hotel Dekat Ocean Park BSD, Bisa Jalan Kaki

Hotel Story
5 Penginapan dekat Kebun Raya Cibodas

5 Penginapan dekat Kebun Raya Cibodas

Hotel Story
10 Tempat Wisata Keluarga Terbaik di Dunia 2024, Ada Resor di Bali

10 Tempat Wisata Keluarga Terbaik di Dunia 2024, Ada Resor di Bali

Jalan Jalan
7 Wisata Ramah Anak di Bandung, Cocok untuk Liburan Sekolah

7 Wisata Ramah Anak di Bandung, Cocok untuk Liburan Sekolah

Jalan Jalan
9 Wisata Malam di Solo, Kunjungi Saat Mampir

9 Wisata Malam di Solo, Kunjungi Saat Mampir

Jalan Jalan
6 Tips Penting untuk Merencanakan Liburan Keluarga

6 Tips Penting untuk Merencanakan Liburan Keluarga

Travel Tips
3 Mall Solo dekat Stasiun Purwosari, Bisa Jalan Kaki

3 Mall Solo dekat Stasiun Purwosari, Bisa Jalan Kaki

Jalan Jalan
Minimarket di Jepang dengan Latar Belakang Gunung Fuji Timbulkan Masalah

Minimarket di Jepang dengan Latar Belakang Gunung Fuji Timbulkan Masalah

Travel Update
Desa Wisata di Spanyol Binibeca Vell Terancam Ditutup Akibat Lonjakan Jumlah Wisatawan

Desa Wisata di Spanyol Binibeca Vell Terancam Ditutup Akibat Lonjakan Jumlah Wisatawan

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com